top of page

Urgensi Indonesia Dalam Penghapusan Impunitas Terhadap Pelanggaran HAM Berat Melalui Peratifikasian

Terima kasih atas pertanyaannya!

Pertanyaan yang diberikan oleh Saudari D merupakan permasalahan mengenai urgensi Indonesia meratifikasi Statuta Roma demi menghapus impunitas terhadap pelanggaran HAM berat yang terjadi masa lalu.


Dalam menjawab pertanyaan ini, kami akan merujuk pada Statuta Roma, Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, dan mengulas sejarah kasus Pelanggaran HAM Berat di masa lalu, serta berbagai literatur lainnya.


Posisi Indonesia Berkaitan Dengan Statuta Roma

Sebagai negara yang berkomitmen terhadap prinsip-prinsip hak asasi manusia, sayangnya Indonesia masih belum meratifikasi Statuta Roma dalam sistem peradilan nasional. Alasan Indonesia belum meratifikasi Statuta Roma hingga saat ini dipengaruhi oleh adanya kekhawatiran akan potensi perubahan pandangan terhadap sejarah dan tokoh-tokoh nasional yang dihormati bangsa Indonesia justru dipandang rendah oleh negara lain. Sebagaimana diungkapkan oleh pakar Hukum Internasional, Hikmahanto Juwana, kesediaan Indonesia untuk meratifikasi Statuta Roma memerlukan persiapan yang lebih matang, termasuk pemahaman yang baik dari seluruh aparat penegak hukum humaniter. Salah satu substansi penting dari Statuta Roma adalah upaya pembatasan hak impunitas yang menciptakan perdebatan internal yang kompleks.


Memahami Esensi Statuta Roma

Sebelum menelusuri pengaturan terkait impunitas, perlu diketahui bahwa Statuta Roma merupakan perjanjian internasional yang mengatur ketentuan terkait penegakan hukum atas kejahatan HAM berat di lingkup internasional. Indonesia sebagai peserta konferensi pengesahan Statuta Roma pada tanggal 17 Juli 1998 menyatakan dukungannya atas atas pengesahan Statuta Roma dan pembentukan Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court atau ICC). Kendati demikian, hingga saat ini pun Indonesia belum meratifikasi ketentuan tersebut. Secara garis besar, Statuta Roma mencakup berbagai pengaturan terkait pendirian Mahkamah Pidana Internasional (ICC), yurisdiksi dan mekanisme penegakan hukum yang dilakukan oleh ICC, serta klasifikasi dan penjelasan terkait pelanggaran HAM berat, termasuk diantaranya pembatasan terhadap hak istimewa dan kekebalan yang dimiliki oleh Kepala Negara dan pejabat pemerintahan lainnya sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 27 Statuta Roma, atau yang lebih dikenal dengan istilah impunitas.


Kontekstualisasi Hak Impunitas dalam Praktik

Impunitas merupakan kekebalan hukum yang diberikan kepada pejabat negara. Adapun, dalam konteks Statuta Roma, kekebalan hukum yang dimaksud adalah milik kepala negara dan pemerintahan. Pada Pasal 27 ayat (2) Statuta Roma secara tegas diatur bahwa impunitas tidak memiliki pengecualian, sehingga dapat ditafsirkan bahwasanya mahkamah memiliki legitimasi yang kuat dalam melaksanakan yurisdiksi terhadap siapapun yang melakukan kejahatan HAM Berat. Dengan kata lain, hak impunitas yang dimiliki oleh kepala negara dan pemerintahan tersebut tidak berlaku dalam Statuta Roma. Berkaitan dengan konteks tersebut, apabila Indonesia belum meratifikasi, hal ini memiliki arti bahwa hak impunitas masih dipertahankan sehingga kepala negara atau pemerintahan tetap mendapatkan hak untuk terhindar dari kejahatan yang dilakukan.

Adapun, Indonesia belum mengatur secara tegas terkait pertanggungjawaban pelanggaran HAM Berat yang ditujukan kepada kepala negara dan pemerintahan. Kemudian, untuk memudahkan pemahaman hak impunitas, kami akan mengkontekstualisasikannya terhadap pejabat negara melalui kasus konkret yang pernah terjadi. Misalnya, Wiranto sebagai seorang Jenderal TNI Wiranto pada masanya yang menggunakan hak impunitas pada pelanggaran HAM Berat di Indonesia, yakni Kasus Timor Timur Tahun 1999. Terlepas dari prasangka sebagai terduga pelaku dalam kasus tersebut, Wiranto diangkat sebagai menteri dan Ketua Dewan Pertimbangan di era Presiden Jokowi. Apabila merujuk pada konteks ketentuan dalam Statuta Roma, Wiranto masih terbebas dari tindakannya karena Indonesia tidak meratifikasi Statuta Roma. Dengan kata lain, Wiranto sebagai pejabat negara memiliki hak impunitas atau kekebalan hukum atas perbuatannya tersebut.


Lantas, Seberapa Besar Urgensi Indonesia Untuk Meratifikasi Statuta Roma?

Sebagaimana yang telah kita ketahui, meskipun Indonesia mendukung pengesahan Statuta Roma, Indonesia belum juga meratifikasinya. Faktanya, sebagian dari kejahatan internasional yang diatur dalam Statuta Roma telah diadopsi oleh Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Hal ini menjadi pertanyaan bagi berbagai kalangan, karena Indonesia sendiri memiliki beberapa kasus pelanggaran HAM Berat di masa lalu. Hingga saat ini, setidaknya terdapat 12 (dua belas) kasus pelanggaran HAM Berat yang belum memperoleh keadilan. Berkaitan dengan hal tersebut, atas rekomendasi Tim Non Yudisial Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat, Presiden Joko Widodo telah mengakui adanya 12 (dua belas) pelanggaran HAM Berat. Namun, pengakuan tersebut hanya dilakukan melalui permintaan maaf secara umum saja, padahal korban Pelanggaran HAM Berat memiliki hak untuk mendapatkan penyelesaian melalui jalur hukum atas nestapa yang dideritanya.

Dalam konteks upaya penyelesaian hukum terhadap kasus pelanggaran HAM Berat di Indonesia, negara kita telah mengatur penegakan hukum terhadap pelanggaran HAM berat dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (UUKKR). Hal tersebut tentunya menjadi ‘angin segar’ dalam menanggapi permasalahan Pelanggaran HAM Berat. Akan tetapi, UU a quo dibatalkan secara keseluruhan oleh Mahkamah Konstitusi (MK). MK menyatakan bahwa pembatalan secara keseluruhan terhadap UUKKR dikarenakan Pasal 19 UU a quo dinilai bertentangan dengan UUD 1945, yang mana penegakan UUKKR bergantung dan bermuara pada pasal tersebut. Terlebih pula, upaya penyelesaian saat ini hanya melalui komisi penyelesaian yang mekanismenya tidak efektif. Oleh karena itu, alangkah baiknya penyelesaian kasus pelanggaran HAM Berat di masa lalu dapat ditempuh melalui legislasi Undang-undang.

Di samping itu, urgensi untuk meratifikasi Statuta Roma bagi Indonesia sangat penting sebagai bahan pertimbangan lebih lanjut. Melalui ratifikasi Statuta Roma, Indonesia memiliki peluang untuk mendapatkan hak preferensi aktif dalam kegiatan ICC, mendorong efektivitas sistem hukum nasional dalam perlindungan HAM, serta mendorong pembaharuan hukum di Indonesia sebagai negara panutan dalam upaya perlindungan HAM. Sedangkan, apabila Indonesia tidak mempertimbangkan upaya ratifikasi Statuta Roma, Indonesia akan kehilangan bargaining position yang signifikan, menghambat perkembangan aturan perlindungan HAM, potensi praktik impunitas yang terus berlanjut, hingga risiko intervensi asing yang meningkat. Oleh karena itu, urgensi dalam meratifikasi Statuta Roma adalah hal esensial dalam konteks penyelesaian masalah HAM berat di Indonesia pada masa yang akan datang.


Kesimpulan

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa urgensi Indonesia dalam meratifikasi Statuta Roma sangatlah penting. Hal tersebut dikarenakan, meratifikasi Statuta Roma sebagai dasar hukum yang rigid dapat menjadi langkah progresif dalam menanggulangi kasus pelanggaran HAM berat di Indonesia, termasuk mengenai impunitas. Menimbang fakta bahwa, hingga saat ini, masih terdapat 12 (dua belas) kasus pelanggaran HAM berat yang belum mendapatkan keadilan disebabkan oleh mekanisme dan pengadilan ad-hoc di Indonesia yang belum jelas, maka sudah seharusnya urgensi ratifikasi Statuta Roma dipertimbangkan lebih lanjut. Adapun, apabila merujuk pada konteks pelanggaran HAM Berat di masa lalu, tidak serta merta dapat diselesaikan hanya dengan Indonesia meratifikasi Statuta Roma. Penyelesaian permasalahan impunitas pada pelanggaran HAM Berat di masa lalu, sebaiknya ditempuh melalui legislasi peraturan mengenai kebenaran dan rekonsiliasi terhadap Pelanggaran HAM Berat di masa lalu. Oleh karena itu, penghapusan hak impunitas dan penyelesaian pelanggaran HAM Berat di masa lalu, tidak cukup hanya dengan meratifikasi Statuta Roma. Kendati demikian, jika berbicara mengenai urgensi dalam meratifikasi Statuta Roma, maka sudah jelas hal tersebut menjadi langkah konkret untuk menegakkan hukum dan mengakhiri impunitas terhadap pelanggaran HAM Berat.


Demikian hasil analisis kami semoga dapat tercerahkan.


*Jawaban pertanyaan ALSA Legal Assistance ini tidak memiliki kekuatan hukum tetap dan mengikat, dan tidak dapat digunakan sebagai alat bukti dalam persidangan. ALSA Legal Assistance dan ALSA LC UGM tidak dapat digugat maupun dituntut atas segala pernyataan, kekeliruan, ketidaktepatan, atau kekurangan dalam setiap konten yang disampaikan dalam laman ALSA Legal Assistance.


Untuk pendapat hukum lebih lanjut, disarankan untuk menghubungi profesional yang memiliki keahlian pada bidang tersebut.


*Jawaban kami telah mendapat review oleh Dr. Heribertus Jaka Triyana, S.H., M.A., LL.M.



DAFTAR PUSTAKA


Peraturan Perundang-Undangan:

Indonesia, Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, LN. 2000/ No. 208, TLN No. 4026.

United Nations, Rome Statute of the International Criminal Court (1998).


Internet:

Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Argawati, Utami. “Indonesia Indonesia Belum Ratifikasi Statuta Roma”. https://www.mkri.id/index.php?page=web.Berita&id=19032. (diakses pada 9 November 2023)


Azis, Apriyani Dewi. “Implikasi Ratifikasi Statuta Roma 1998 Bagi Penegakkan Hukum dan HAM Di Indonesia”. Jurnal RechtsVinding, 2016. hlm: 1-4.


Tempo.com. Putra, Han Revanda. “Inilah 12 Pelanggaran HAM Berat yang Diakui Presiden Jokowi”. https://nasional.tempo.co/read/1678970/inilah-12-pelanggaran-ham-berat-yang-diakui-presiden-jokowi (diakses pada 13 November 2023)


Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. We, Luthfi. “UU KKR Bertentangan dengan UUD 1945”. https://www.mkri.id/index.php?page=web.Berita&id=1176. (diakses pada 13 November 2023).


Wicaksana, Pradnya. “Menyingkap Budaya Impunitas pada Pelanggaran HAM Berat di Indonesia dalam Diskusi HRLS”. Fakultas Hukum Universitas Airlangga. 21 Maret 2021. https://fh.unair.ac.id/menyingkap-budaya-impunitas-pada-pelanggaran-ham-berat-di-indonesia-dalam-diskusi-hrls/ (diakses pada 11 November 2023).


Tags:

Comments


Recent Posts
Archive
bottom of page