top of page

Penyertaan dalam Kasus Pencurian

Pertanyaan

Suatu kasus terjadi di dekat perumahan saya dimana ada seorang perempuan melakukan pencurian uang dari sebuah kasir minimarket. Perempuan tersebut melarikan diri dengan ojek yang ada di dekatnya. Ternyata sejumlah warga mengetahui perempuan tersebut mencuri. Driver ojek yang mengetahui bahwa perempuan tersebut sedang membawa uang curian justru melarikan diri bersama pelaku bukan karena berniat membantu pelaku dalam melakukan suatu tindak pidana pencurian, tetapi ia takut disangka terlibat dalam pencurian tersebut yang kemudian ditakutkan terjadinya “main hakim” sendiri pada dirinya.


Pertanyaannya, bagaimana cara membuktikan bahwa tindakan driver ojek tersebut bukan merupakan sebuah penyertaan dalam suatu tindak pidana. Lalu, apakah Driver Ojek dapat dikatakan medeplegen (turut serta melakukan perbuatan pidana) dalam kasus pencurian tersebut?


Jawaban:

Terima kasih D atas pertanyaannya! Pertanyaan yang diajukan oleh saudara D adalah terkait bagaimana pembuktian atas tindakan ojek terkait penyertaan dalam pidana dan apakah tindakan driver ojek tersebut dapat dikatakan medeplegen.


Di dalam Pasal 55-62 KUHP telah mengatur terkait ketentuan penyertaan. Namun, dalam pembahasan ini, penulis akan memfokuskan pada Pasal 55 dan Pasal 56 dikarenakan kedua pasal tersebut mengandung pengaturan terkait siapa yang dapat dikatakan sebagai pelaku penyertaan. Adapun bunyi Pasal 55 KUHP adalah sebagai berikut:

“(1) Dipidana sebagai pelaku tindak pidana:

1. mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan, dan yang turut serta melakukan perbuatan;

2. mereka yang dengan memberi atau menjanjikan sesuatu dengan menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan, ancaman atau penyesatan, atau dengan memberi kesempatan, sarana atau keterangan, sengaja menganjurkan orang lain supaya melakukan perbuatan.


(2) Terhadap penganjur, hanya perbuatan yang sengaja dianjurkan sajalah yang diperhitungkan, beserta akibat-akibatnya.”


Adapun bunyi Pasal 56 KUHP adalah sebagai berikut:

“Dipidana sebagai pembantu kejahatan:

1. mereka yang sengaja memberi bantuan pada waktu kejahatan dilakukan;

2. mereka yang sengaja memberi kesempatan, sarana atau keterangan untuk melakukan kejahatan.”


Namun, sebelum mendalami lebih jauh mengenai klasifikasi pelaku penyertaan perlu dipahami terlebih dahulu apa itu penyertaan. Penyertaan atau deelneming merupakan semua perbuatan yang meliputi bentuk turut serta oran atau orang-orang baik secara psikis maupun fisik dimana masing-masing perbuatan tersebut melahirkan suatu tindak pidana.


Menurut Simons, ada beberapa klasifikasi terkait siapa saja yang dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana dalam delik penyertaan yaitu:

1. Penyertaan yang berdiri sendiri

Penyertaan yang berdiri sendiri adalah masing-masing pelaku penyertaan diadili secara tersendiri sesuai dengan perbuatan pidana yang dilakukan oleh masing-masing peserta.

2. Penyertaan yang tidak berdiri sendiri.

Penyertaan yang tidak berdiri sendiri adalah peserta dapat diadili atau tidak tergantung pada seperti apakah peranannya dalam perbuatan pidana dan apakah perbuatan yang dilakukan oleh pelaku penyertaan tersebut masuk ke dalam suatu tindak pidana.


Berdasarkan pengaturan mengenai penyertaan di dalam Pasal 55 dan Pasal 56 KUHP, bentuk-bentuk penyertaan dapat dibagi menjadi dua yaitu:

1. Pembuat yang terdiri atas:

a. Pelaku (pleger)

Pelaku merupakan orang yang melakukan suatu tindak pidana dan dianggap sebagai orang yang paling bertanggung jawab atas kejahatan. Sehingga, dapat dipahami bahwa pelaku merupakan seseorang yang memenuhi semua unsur delik.

b. Orang yang menyuruh lakukan (doenpleger)

Doenpleger dapat disebut juga sebagai middelijk daderschap yaitu seseorang yang mempunyai kehendak dalam melakukan suatu tindak pidana akan tetapi ia tidak ingin melakukannya sendiri dan mempergunakan atau menyuruh orang lain untuk melakukan perbuatan pidana tersebut.

c. Orang yang turut serta (medepleger)

Dalam turut serta melakukan setidak-tidaknya harus terdapat dua orang yang terlibat dalam suatu peristiwa tindak pidana yaitu orang yang melakukan (pleger) dan orang yang turut melakukan (medepleger). Dalam medepleger tidak diperlukannya suatu rencana rencana terlebih dahulu. Namun, yang perlu dibuktikan adalah saling pengertian antara sesama pelaku dan saat perbuatannya tersebut terwujud, apakah masing-masing pelaku saling bekerja sama untuk mencapai tujuannya bersama.

d. Orang yang menganjurkan (uitlokker)

Penganjuran adalah seseorang yang menggerakkan orang lain untuk melakukan suatu tindak pidana dengan cara menjanjikan suatu hal, menyalahgunakan kekuasaan, menggunakan kekerasan, ancaman, dengan memberi, sarana, atau keterangan.


2. Pembantu (medeplichtige) yang terdiri atas:

a. Pembantu pada saat kejahatan dilakukan

Pembantuan pada saat kejahatan adalah mereka yang sengaja memberi bantuan pada saat kejahatan tengah dilakukan.

b. Pembantu sebelum kejahatan dilakukan

Pembantuan sebelum kejahatan dilakukan artinya pembantuan tersebut dilakukan sebelum kejahatan terjadi dengan memberikan kesempatan, sarana atau keterangan untuk melakukan kejahatan.


Pembantuan merupakan bagian dari penyertaan yang diatur tersendiri di dalam Pasal 56, 57, dan 60 KUHP. Pada dasarnya, bantuan yang diberikan harus merupakan suatu tindakan yang mempunyai dampak signifikan terhadap terwujudnya suatu tindak pidana pokok. Sehingga, dapat dipahami bahwa seseorang tidak dapat dikatakan sebagai pelaku pembantu hanya karena ia kenal dengan pelaku utama. Namun, pembantuan harus mengetahui apa yang ia perbuat dan dengan cara apa ia membantunya.


Sehingga, berdasarkan uraian di atas, untuk dapat membuktikan bahwa Driver Ojek telah melakukan suatu tindakan penyertaan ataupun dapat dikatakan sebagai medepleger adalah manakala di dalam persidangan, Driver Ojek dapat terbukti telah memenuhi unsur-unsur berdasarkan uraian yang telah dijelaskan sebelumnya serta tidak ditemukan adanya alasan pembenar maupun alasan pemaaf dalam diri atau perbuatan Driver Ojek tersebut.


Selain itu, dapat kita asumsikan pula apabila di dalam kasus ini perempuan yang melakukan pencurian kabur dengan memesan ojek online, maka terdapat bukti petunjuk berupa handphone yang dapat digunakan dalam pembuktian dalam persidangan. Perlu dilihat apakah perempuan dan Driver Ojek tersebut memiliki suatu niatan yang dapat dikaitkan dengan medepleger dengan melihat dari sudut pandang meeting of mind atau dikenal juga sebagai permufakatan jahat sebagaimana yang diatur dalam Pasal 88 KUHPidana yang menentukan bahwa,

“Dikatakan ada dua permufakatan jahat apabila dua orang atau lebih telah sepakat akan melakukan kejahatan”.

Sehingga, menurut KUHP dengan adanya permufakatan untuk melakukan suatu kejahatan, pembuat undang-undang memandang bahwa hal ini sudah cukup menjadi alasan untuk diancam dengan pidana karena pemufakatan itu sendiri sudah merupakan hal yang berbahaya sehingga pantas untuk dianggap sebagai delik yang selesai.


Mengapa kita perlu mengasumsikan bahwa terdapat alat bukti berupa petunjuk dalam kasus a quo? Hal ini dikarenakan misal dalam pemeriksaan alat bukti di persidangan tidak terdapat saksi dalam kejadian tersebut, maka alat bukti petunjuk dapat digunakan untuk membantu dalam pembuktian kasus. Alat bukti petunjuk merupakan alat bukti yang berbeda dengan alat bukti lainnya. Alat bukti petunjuk tidaklah diperiksa di pengadilan karena alat bukti petunjuk berbentuk abstrak sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 188 ayat (1) KUHAP,

“Alat bukti petunjuk merupakan perbuatan, kejadian atau keadaan, yang karena adanya suatu hubungan antara yang satu dengan yang lain, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana, serta menandakan siapa pelakunya”.


Adapun pentingnya alat bukti berupa petunjuk ini karena di dalam KUHP salah satu sistem pembuktian yang sering digunakan dalam sistem peradilan yakni positif wettelijke theore atau sistem pembuktian berdasarkan Undang-Undang Positif. Sistem ini menganut ajaran bahwa bersalah atau tidaknya terdakwa didasarkan atas ada tidaknya alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang. Apabila perbuatan terdakwa dapat dibuktikan dengan alat bukti yang sah maka terdakwa tersebut harus dijatuhi hukuman pidana.


Kemudian, berbicara terkait pertanggungjawaban dalam pidana, tidak dapat kita lepaskan dari unsur kesalahan. Bila diasumsikan bahwa salah satu alat bukti yang dapat ditemukan berupa alat bukti komunikasi berupa pesan WhatsApp maka pesan tersebut dapat dipergunakan sebagai bukti unsur kesalahan dalam bentuk kesengajaan melakukan kerja sama atau adanya permufakatan jahat.


Demikian hasil analisa kami semoga dapat tercerahkan.


*Jawaban pertanyaan ALSA Legal Assistance ini tidak memiliki kekuatan hukum tetap dan mengikat, dan tidak dapat digunakan sebagai alat bukti dalam persidangan. ALSA Legal Assistance dan ALSA LC UGM tidak dapat digugat maupun dituntut atas segala pernyataan, kekeliruan, ketidaktepatan, atau kekurangan dalam setiap konten yang disampaikan dalam laman ALSA Legal Assistance.


Untuk pendapat hukum lebih lanjut, disarankan untuk menghubungi profesional yang memiliki keahlian pada bidang tersebut.


*Jawaban kami telah mendapat review oleh Bapak Dr. Sigid Riyanto, S.H., M.Si. (Dosen Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada)

Daftar Pustaka

[1] Adam Chazawi, 2002, Pelajaran Hukum Pidana Bagian I, Raja Grafindo, Jakarta.

[2] Ali Imron & Muhammad Iqbal, 2019, Hukum Pembuktian, Unpam Press, Tangerang Selatan

[3] Eddy O.S. Hiariej, 2016, Prinsip-Prinsip Hukum Pidana Edisi Revisi, Cahaya Atma Pustaka, Yogyakarta.

[4] Fahrurozzi, dkk.,2019, Sistem Pemidanaan dalam Penyertaan Tindak Pidana Menurut KUHP, Vol. 10, No. 1.

[5] Mario Mangowal, 2018, Delik Permufakatan Jahat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Vol. 6, No. 7.

[6] Moeljatno, 1985, Hukum Pidana Delik-Delik Percobaan Penyertaan, PT. Bina Aksara, Jakarta.

[7] Teguh Prasetyo, 2017, Hukum Pidana, Rajawali Pers, Depok.

[8] Setyowati, 2018, Pembantuan dan Penyertaan (Deelneming) dalam Kasus Perkosaan Anak, Vol. 1, No. 2.



Tags:

Comments


Recent Posts
Archive
bottom of page