Pengaturan Hukum Terhadap Praktik Perjudian
ALA #3 is in collaboration with Harvardy, Marieta & Mauren Attorneys at Law
Pertanyaan:
Dalam KUHP pasal 303 bis menyatakan bahwa judi dilarang dan diancam pidana. Namun disisi lain dalam KUHPer pasal 1774 disebutkan terkait perjanjian untung-untungan salah satunya adalah perjudian dan pertaruhan. Lalu apabila kita melihat dari Pasal 1791 memberikan kesempatan kepada orang yang memiliki utang dan/atau membayar kekalahan dalam utang, yang diakibatkan karena judi yang berkaitan dengan olahraga, untuk menuntut kembali apabila ia terbukti dicurangi. Di mana secara tidak langsung menandakan negara "melindungi penjudi" secara hukum. Maka dari itu, apakah judi dilarang? apabila dilarang seperti apa judi yang dilarang tersebut? dan bagaimana apabila seseorang yang mengajukan gugatan pada judi bola karena ia dicurangi?
Terima kasih “FR” atas pertanyaannya!
Berikut hasil analisis dan pembahasan kami terkait pertanyaan anda.
Perikatan dapat lahir dari disepakatinya suatu perjanjian atau karena undang-undang melahirkan suatu perikatan.[1] Dalam jenis perikatan yang timbul karena perjanjian, perlu diketahui bahwa perikatan berbeda dengan perjanjian. Menurut Prof. Subekti seperti dikutip dalam buku “Hukum Perjanjian”, perikatan merupakan hubungan hukum antara satu pihak dengan pihak yang lain, di mana satu pihak menuntut sesuatu hal dari pihak lain, dan pihak lain tersebut berkewajiban untuk memenuhi tuntutan tersebut.[2] Hal ini sesuai dengan tujuan suatu perikatan, yaitu untuk melakukan sesuatu, tidak melakukan sesuatu, atau untuk memberikan sesuatu.[3] Sementara itu, perjanjian adalah peristiwa di mana terdapat satu pihak yang berjanji kepada pihak lain, yang terhadap kedua pihak tersebut berjanji untuk melaksanakan suatu hal.[4] Mengacu pada definisi perikatan dan perjanjian dari Kitab-Undang-Undang Hukum Perdata (“KUH Perdata”) dan Prof. Subekti, S.H., dapat diketahui bahwa perjanjian berbeda dengan perikatan karena perjanjian merupakan salah satu sumber perikatan.
Dalam perikatan yang timbul karena perjanjian, terdapat beberapa bentuk perjanjian, seperti perjanjian jual-beli, sewa-menyewa, dan perjanjian untung-untungan. Perjanjian untung-untungan menurut Prof. Subekti, S.H., seperti dikutip dalam buku “Aneka Perjanjian”, merupakan bentuk perjanjian di mana hasil mengenai untung-rugi atas perbuatan dari para pihak, bergantung kepada peristiwa atau kejadian yang belum pasti.[5] Beberapa bentuk perjanjian untung-untungan adalah bunga cagak hidup dan perjudian. Perjudian merupakan bentuk peristiwa di mana hasil atas untung-rugi masih digantungkan terhadap suatu kejadian yang belum pasti.[6] Pada hakekatnya, perjudian bertentangan dengan agama, kesusilaan, dan moral bangsa, namun pada kenyataannya kegiatan perjudian masih banyak dilakukan. Salah satu contoh kegiatan perjudian adalah misalnya permainan kartu, di mana hasil kemenangan atau kekalahan digantungkan terhadap nasib dari para pemain yang mengambil kartu dan memainkannya. Berikut ini merupakan analisis dan pembahasan mengenai legalitas perjudian dan gugatan terkait dalam perjudian bola.
Dalam konteks hukum pidana, kita dapat merujuk pada beberapa regulasi, yaitu Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana (“KUHP”) , Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1974 tentang Penertiban Perjudian (“UU Penertiban Perjudian”) yang berfokus terhadap pelarangan, penertiban, dan pengenaan sanksi terhadap kegiatan perjudian, Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1981 tentang Pelaksanaan Penertiban Perjudian (“PP Penertiban Perjudian”), dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (“UU ITE”) yang menjadi acuan terkait dengan perjudian online yang merupakan perkembangan dari perjudian konvensional.
Menurut Subekti, apabila melihat dari perspektif KUHP, kegiatan perjudian dilarang.[7] Mengacu pada Pasal 303 ayat (3) KUHP, dapat diketahui bahwa yang termasuk dalam kegiatan perjudian adalah tiap-tiap permainan, di mana pada umumnya kemungkinan mendapat untung bergantung pada peruntungan belaka.[8] Kemudian, R. Soesilo dalam bukunya yang berjudul “Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP): Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal”, menegaskan bahwa yang termasuk dalam kategori permainan judi adalah permainan yang mendasarkan pada untung-untungan dan bergantung kepada pemain, seperti main dadu, roulette, totalisator dalam pacuan kuda, dan judi bola.[9] Pelarangan kegiatan perjudian juga diatur dalam UU Penertiban Perjudian, di mana dinyatakan bahwa kegiatan perjudian termasuk dalam tindak kejahatan.[10] Selain itu, kegiatan perjudian juga disebutkan dalam Konsiderans dan Penjelasan Umum UU Penertiban Perjudian, bahwa pada hakekatnya, perjudian adalah bertentangan dengan agama, kesusilaan, moral pancasila, serta membahayakan bagi penghidupan dan kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara.[11] Lebih lanjut, UU a quo juga merupakan peraturan yang mengubah ancaman sanksi pidana penjara dan denda dalam Pasal 303 KUHP, yang semula diancam dengan pidana penjara maksimal 2 (dua) tahun 8 (delapan) bulan atau denda paling banyak Rp90.000,- (sembilan puluh ribu Rupiah) menjadi pidana penjara maksimal 10 (sepuluh) tahun atau pengenaan denda paling banyak Rp 25.000.000,- (dua puluh lima juta rupiah).[12]
Selanjutnya, UU a quo juga merupakan peraturan yang membentuk Pasal 303 bis KUHP, di mana menetapkan sanksi terhadap seseorang yang menggunakan kesempatan untuk bermain judi dengan melanggar ketentuan dalam Pasal 303 KUHP dan terhadap seseorang yang bermain judi di tempat umum menjadi pidana penjara maksimal 4 (empat) tahun atau denda paling banyak Rp 10.000.000,-.[13] Kemudian, UU Penertiban Perjudian juga mengatur bahwa terhadap seseorang yang ketika melakukan pelanggaran belum lewat dua tahun sejak ada pemidanaan yang menjadi tetap, dapat dikenakan pidana penjara maksimal 6 (enam) tahun atau pengenaan denda paling banyak Rp 15.000.000,- (lima belas juta rupiah), yang kemudian dirumuskan dalam Pasal 303 bis ayat (2) KUHP.[14] Penegasan bahwa perjudian merupakan tindakan yang dilarang, juga ditegaskan dalam PP Penertiban Perjudian, di mana diatur bahwa pemberian izin penyelenggaraan segala bentuk dan jenis perjudian itu dilarang dan izin penyelenggaraan perjudian yang telah diberikan, dinyatakan dicabut dan tidak berlaku lagi.[15]
Sementara itu, dalam konteks hukum perdata, tidak secara langsung diatur mengenai pelarangan perjudian. Akan tetapi, ketentuan dalam KUHPerdata lebih mengatur mengenai konsepsi utang yang dapat terjadi apabila telah terjadi tindak kejahatan perjudian, sebagaimana diatur dalam Pasal 1788 sampai 1791 KUHPerdata. Pengaturan dalam KUHPerdata menyatakan bahwa apabila timbul hutang dalam perjudian, maka debitur yang bertanggung jawab atas hutang perjudian, tidak memiliki kewajiban untuk melunasi hutang tersebut, sehingga dapat dikatakan bahwa debitur tersebut tidak memiliki haftung, yaitu tanggung jawab yuridis untuk memenuhi kewajibannya atau dapat juga ditelaah bahwa haftung dapat menjamin pemenuhan prestasi oleh debitur.[16] Hal ini didasarkan pada ketentuan dalam Pasal 1788 KUHPerdata, yang menyatakan bahwa undang-undang tidak memberikan suatu tuntutan hukum dalam hal adanya suatu utang yang terjadi akibat perjudian atau pertaruhan.[17] Namun demikian, bukan berarti debitur tersebut tidak memiliki schuld atau kewajiban berprestasi, karena debitur dapat secara sukarela melunasi hutangnya.[18] Hal ini diatur dalam ketentuan dalam Pasal 1791 KUHPerdata, yang menyatakan bahwa apabila seseorang secara sukarela membayar kekalahan akibat perjudian atau pertaruhan dengan uang, maka ia tidak boleh menuntut kembali uangnya kecuali telah terjadi kecurangan atau penipuan dalam perjudian atau pertaruhan.[19] Menurut Gunawan Widjaja dan Kartini Muljadi, konsep tersebut di atas dinamakan dengan perikatan alamiah (natuurlijke verbintennis), di mana terdapat unsur shculd pada sisi debitor namun dari sisi kreditor, tidak terdapat unsur haftung.[20] Perikatan alamiah diatur dalam Pasal 1359 ayat (2) KUHPerdata, yang menjelaskan bahwa terhadap perikatan bebas atau perikatan yang tidak memiliki kausa halal, di mana secara sukarela telah terpenuhi, tidak dapat dimintakan penuntutan kembali.[21]
Tidak dapat dipungkiri bahwa dalam permainan olahraga seperti pacuan kuda dan sepak bola terdapat tindakan perjudian. Perjudian dalam olahraga sepak bola dapat terjadi dalam berbagai modus, seperti pengaturan skor pertandingan (match fixing) dan pertaruhan terkait suatu keadaan dalam pertandingan sepak bola, misalnya pertaruhan siapa pencetak gol dalam pertandingan. Dari hasil perjudian tersebut, dapat timbul adanya hutang yang ditanggung oleh pihak yang kalah judi. Dalam judi bola, ketentuan dalam Pasal 1788 KUHPerdata tidak berlaku, di mana pihak yang kalah dan berhutang, memiliki schuld dan haftung, yaitu kewajiban untuk memenuhi hutang tersebut dan tanggung jawab yuridis atas pemenuhan hutang tersebut.[22]
Namun demikian, terdapat kemungkinan bahwa dalam timbulnya hutang judi bola sebagaimana dijelaskan di atas, disebabkan karena adanya perbuatan curang oleh pihak lawan, di mana pihak lawan memanipulasi perjudian untuk membuat dirinya menang. Apabila terdapat dugaan telah terjadi kecurangan dalam perjudian tersebut, maka pihak yang merasa dicurangi tidak dapat mengajukan upaya hukum apapun dikarenakan tidak ada norma hukum yang expressis verbis menyatakan dapat diajukannya gugatan ke pengadilan. Hal ini ditegaskan, di mana apabila pihak yang kalah telah secara sukarela membayar hutang judi tersebut dengan sejumlah uang, maka pihak tersebut tidak dapat menuntut kembali uang tersebut kecuali pihak yang menang telah melakukan kecurangan atau penipuan.[23]
Sebagai yurisprudensi, kita dapat melihat Putusan Pengadilan Negeri Banyuwangi Nomor 399/Pid.B/2019/PN Byw tentang kasus perjudian, di mana terdakwa terbukti melanggar Pasal 303 KUHP dan dijatuhi pidana penjara selama 3 (tiga) bulan dan 10 (sepuluh) hari karena terdakwa terbukti melakukan tindakan menggunakan kesempatan untuk menawarkan permainan judi bola kepada penonton pertandingan sepak bola yang sedang berlangsung saat itu dalam Turnamen Forpimka I Cup antara Persib Bangorejo melawan Arkum Pesanggaran.
Perlu untuk kita ketahui bahwa dalam perkembangannya, banyak kegiatan perjudian yang masih berlangsung saat ini dijalankan secara online menggunakan jaringan internet, sehingga kita perlu mengetahui pengaturan terkait hal tersebut. Perjudian online tidak secara langsung diatur dalam KUHP, KUHPerdata, maupun UU Penertiban Perjudian, melainkan diatur dalam UU ITE, yang mengatur bahwa terhadap seseorang yang dengan sengaja tanpa adanya hak, mentransmisikan dan/atau membuka akses informasi terhadap dokumen elektronik yang memiliki muatan perjudian, diancam dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun atau denda paling banyak Rp 1.000.000.000,- (satu miliar rupiah).[24]
Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa perjudian di hukum Indonesia dilarang secara tegas dalam Pasal 303 KUHP dan juga pengaturan lebih lanjut di Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1974 tentang Penertiban Perjudian. Perjudian dalam ketentuan KUHPerdata adalah untuk menunjukkan adanya konsepsi utang di dalam kegiatan perjudian itu sendiri, hal mana terdapat kewajiban berprestasi secara alamiah di sisi debitor namun tidak dapat dituntut pelaksanaannya oleh kreditor.
*Jawaban pertanyaan ALSA Legal Assistance ini tidak memiliki kekuatan hukum tetap dan mengikat, dan tidak dapat digunakan sebagai alat bukti dalam persidangan. ALSA Legal Assistance dan ALSA LC UGM tidak dapat digugat maupun dituntut atas segala pernyataan, kekeliruan, ketidaktepatan, atau kekurangan dalam setiap konten yang disampaikan dalam laman ALSA Legal Assistance.
Untuk pendapat hukum lebih lanjut, disarankan untuk menghubungi profesional yang memiliki keahlian pada bidang tersebut*
[1] Vide Pasal 1233 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata).
[2] Prof. Subekti, S.H., Hukum Perjanjian (Bandung: Intermasa, 2001), hal. 1.
[3] Vide Pasal 1234 KUH Perdata.
[4] Prof. Subekti, S.H., Loc. Cit.
[5] Prof. R. Subekti, S.H., Aneka Perjanjian (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2014), hal. 132.
[6] Ibid, hlm. 138.
[7] Ibid.
[8] Vide Pasal 303 ayat (3) KUHP.
[9] R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP): Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal (Bogor: Politeia, 1991).
[10] Vide Pasal 1 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1974 tentang Penertiban Perjudian (UU Penertiban Perjudian).
[11] Vide Konsiderans dan Penjelasan Umum UU Penertiban Perjudian.
[12] Vide Pasal 2 ayat (1) UU Penertiban Perjudian.
[13] Vide Pasal 2 ayat (2) UU Penertiban Perjudian.
[14] Vide Pasal 2 ayat (3) UU Penertiban Perjudian.
[15] Vide Pasal 1 ayat (2) dan (3) PP Penertiban Perjudian.
[16] Inri Januar, “Kewajiban dan Tanggung Jawab Memenuhi Prestasi dalam Hukum Jaminan”, Jurnal Hukum tô-râ 2, no. 1 (April 2016): 293, http://ejournal.uki.ac.id/index.php/tora/article/view/1131.
[17] Vide Pasal 1788 KUH Perdata.
[18] Letezia Tobing, “Apakah Utang Judi Harus Dibayar?”, Hukumonline.com, https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt50c0a964af35a/apakah-utang-judi-harus-dibayar/#:~:text=Schuld%20adalah%20kewajiban%20berprestasinya%20.
[19] Vide Pasal 1791 KUH Perdata.
[20] Gunawan Widjaja & Kartini Muljadi. “Perikatan Yang Lahir dari Undang-Undang” (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003). hal. 51-52.
[21] Vide Pasal 1359 ayat (2) KUH Perdata.
[22] Vide Pasal 1789 KUH Perdata.
[23] Vide Pasal 1791 KUH Perdata.
[24] Vide Pasal 27 ayat (2) juncto Pasal 45 ayat (2) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.