Kecakapan Hukum Seseorang dan Hubungannya dengan Hak Milik
ALA #3 is in collaboration with Harvardy, Marieta & Mauren Attorneys at Law
Pertanyaan:
Apakah orang yang tidak cakap hukum boleh memiliki hak milik atas suatu benda? Dan bolehkah dia melakukan transaksi?
Terima kasih “IA” atas pertanyaannya!
Berikut hasil analisis dan pembahasan kami terkait pertanyaan anda.
Subjek hukum terbagi menjadi manusia (natuurlijk persoon) dan badan hukum (recht persoon), yang masing-masing memiliki kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum.[1] Dalam menjalankan kewenangannya sebagai subjek hukum, haruslah dalam kondisi cakap dan memiliki kapasitas hukum (legal capacity), sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan. Salah satu bentuk perbuatan hukum yang dapat dilakukan oleh seseorang atau subjek hukum adalah melakukan suatu transaksi dengan orang lain terhadap hak milik atas suatu benda. Perlu diketahui bahwa seseorang yang mempunyai hak milik atas suatu benda memiliki hak untuk menikmati dan memanfaatkan benda tersebut. Tidak hanya itu, seseorang tersebut juga dapat melakukan pengalihan hak milik, yaitu perbuatan mengalihkan/menyerahkan hak milik atas suatu barang kepada orang yang berhak menerimanya.[2] Lantas, bagaimana dengan perbuatan hukum yang dilakukan oleh orang yang tidak/belum cakap hukum? Tentunya, terdapat konsekuensi atau permasalahan hukum bagi orang yang tidak cakap hukum dalam melakukan transaksi terhadap hak milik atas suatu benda. Oleh sebab itu, terdapat dua poin penting sehubungan dengan pertanyaan “IA”, yaitu poin pertama terkait kecakapan hukum seseorang dalam memiliki hak milik atas suatu benda dan poin kedua mengenai kecakapan hukum seseorang dalam melakukan transaksi hak milik atas suatu benda yang berkaitan dengan syarat subjektif dalam syarat sah perjanjian berdasarkan Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUH Perdata”).
Dasar hukum yang dapat digunakan sebagai referensi untuk menganalisa pertanyaan “IA” mengenai kecakapan hukum seseorang, masih belum terdapat keseragaman dalam pengaturannya dan masih terdapat perbedaan pendapat. Pasal 1329 KUH Perdata menjelaskan bahwa orang belum cakap hukum adalah orang yang belum dewasa atau orang yang berada dibawah pengampuan. Selanjutnya, dalam Pasal 330 KUH Perdata dijelaskan bahwa belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap 21 (dua puluh satu) tahun atau belum menikah. Sedangkan, jika dilihat dari Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris (“Undang-Undang Kenotariatan”) telah mengatur bahwa batas dewasa adalah 18 (delapan belas) tahun.[3] Selain itu, Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“Undang-Undang Perkawinan”) mengatur batas dewasa adalah 19 (sembilan belas) tahun.[4] Namun, sejak diterbitkannya Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 7 Tahun 2012 (“SEMA Nomor 7 Tahun 2012”), dalam Hasil Rapat Kamar Perdata Mahkamah Agung Republik Indonesia dalam sub kamar perdata umum bagian ke-XI, telah disepakati oleh Hakim-Hakim Agung Kamar Perdata bahwa dewasa adalah cakap bertindak dalam hukum yaitu orang yang telah mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau telah kawin.[5] Diatur juga mengenai orang yang merupakan dibawah pengampuan yaitu orang yang dungu, gila, mata gelap, lemah pikiran, dan keborosan dengan pengampu yang telah ditetapkan melalui prosedur pengadilan.[6]
Sehubungan dengan hak milik, telah diatur dengan jelas dalam Pasal 570 KUH Perdata yang mendefinisikan hak milik sebagai hak untuk menikmati kegunaan suatu kebendaan dengan leluasa dan untuk berbuat bebas terhadap benda itu dengan kedaulatan sepenuhnya, asalkan tidak bertentangan dengan undang-undang atau peraturan umum yang ditetapkan oleh kuasa yang berwenang dan tidak mengganggu hak-hak orang lain. Dapat diketahui bahwa ketentuan dalam Pasal 570 KUH Perdata tidak mengurangi kemungkinan adanya pencabutan hak demi kepentingan umum dan/atau penggantian kerugian yang pantas.
Selanjutnya, berdasarkan Pasal 570 KUHPerdata, dapat diketahui unsur-unsur yang menjadi konsep dari hak milik, yaitu:
Hak milik adalah hak yang paling utama, artinya menjadi dasar bagi segala hak kebendaan lainnya yang mungkin terjadi berikutnya. Tanpa hak milik tidak mungkin ada hak-hak lain.
Pemilik dapat menikmati sepenuhnya, artinya dapat memakai sepuas-puasnya, dapat memetik manfaat semaksimal mungkin, dan dapat memetik hasil sebanyak-banyaknya.
Pemilik dapat menguasai sebebas-bebasnya, artinya dapat melakukan perbuatan apa saja tanpa batas terhadap benda miliknya itu.
Hak milik tidak dapat diganggu gugat, baik oleh orang lain maupun oleh penguasa, kecuali dengan alasan, syarat-syarat, dan menurut ketentuan undang-undang.
Tidak dapat diganggu gugat diartikan sejauh untuk memenuhi kebutuhan pemiliknya secara wajar dengan memperhatikan kepentingan orang lain (kepentingan umum). Penguasaan dan penggunaan hak milik dibatasi oleh kepentingan umum.[7]
Lebih lanjut, hak milik (eigendom) hanya bisa diperoleh oleh cara-cara berikut:
Pengambilan benda kuat (tuch eigening), yang berarti mengambil benda-benda bergerak yang belum ada pemiliknya dan masih terdapat di alam bebas (res nullius).
Ikutan (natrekking), yang berarti jika suatu benda yang dimiliki bertambah besar atau berlipat ganda karena perbuatan dari alam. Contohnya, jika kita memelihara kucing dan kucing yang kita pelihara melahirkan, maka anak-anak kucing menjadi hak milik kita juga.
Daluwarsa (verjaaring), yang berarti apabila seseorang telah memegang kedudukan berkuasa (bezit) atas suatu benda dan selama waktu tertentu, dan menurut syarat-syarat yang berlaku sudah melewati batas waktu tertentu tersebut, maka bezit akan menjadi hak milik.
Pewarisan, hak milik akan diperoleh apabila ada seseorang yang meninggal dunia dan meninggalkan harta dan ahli waris, maka harta yang dimiliki oleh seseorang tersebut akan dialihkan ke ahli waris.
Penyerahan (levering), dapat terjadi apabila terdapat titel pemindahan hak yang berasal dari orang yang berhak untuk memindahkan hak milik.[8]
Hak milik ini untuk menunjukkan adanya perpindahan penguasaan suatu barang dari satu orang ke orang yang lainnya.
Sehubungan dengan transaksi yang dapat dilakukan oleh seseorang, erat kaitannya dengan hukum perikatan sebagaimana diatur dalam KUH Perdata. Perlu kita rincikan terlebih dahulu apa yang menjadi syarat sahnya suatu perjanjian. Berdasarkan Pasal 1320 KUHPerdata, syarat sahnya suatu perjanjian adalah:
Sepakat dari mereka yang mengikatkan dirinya;
Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
Suatu hal tertentu;
Suatu sebab yang halal;
Syarat-syarat tersebut di atas dapat diklasifikasikan sebagai syarat subyektif untuk syarat pertama dan kedua, dan syarat obyektif untuk syarat ketiga dan keempat. Syarat subyektif dari perjanjian berarti syarat yang harus dipenuhi oleh subjek pembuat perjanjian, sedangkan syarat objektif disini adalah syarat yang harus dipenuhi oleh objek perjanjiannya itu sendiri.[9]
Kecakapan hukum adalah salah satu dari syarat subjektif dalam melakukan perjanjian sebagaimana disebutkan di atas. Berdasarkan Pasal 1330 KUH Perdata ditentukan bahwa orang yang tak cakap untuk membuat perjanjian adalah: (1) anak belum dewasa; (2) orang yang ditaruh di bawah pengampuan; (3) perempuan yang telah kawin dalam hal-hal yang ditentukan undang-undang dan pada umumnya semua orang yang oleh undang-undang dilarang untuk membuat persetujuan tertentu (ketentuan mengenai ketidakcakapan perempuan dalam melakukan perbuatan hukum berdasarkan KUH Perdata telah dicabut dengan Surat Edaran Mahkamah Agung No. 3 Tahun 1963). Apabila dalam membuat suatu perjanjian terdapat syarat subjektif yang tidak terpenuhi dengan alasan bahwa seseorang tidak cakap hukum, maka perjanjian yang dibuat oleh kedua belah pihak dapat dibatalkan berdasarkan Pasal 1331 juncto Pasal 1446 KUH Perdata. Namun, pembatalan dari perjanjian ini harus dilaksanakan dan diminta terlebih dahulu melalui pengadilan. Jika pembatalan perjanjian ini tidak diajukan, maka pada prinsipnya perjanjian dianggap berjalan sebagaimana mestinya. Perlu diketahui, bahwa bagi anak yang belum cakap hukum dapat meminta pembatalan ke pengadilan melalui orang tua/walinya. Sebagai contoh, ada seorang anak berumur 15 (lima belas) tahun menjual motor milik keluarganya kepada gurunya tanpa sepengetahuan orang tuanya. Ketika anak ini kembali ke rumah, ternyata orang tuanya tidak setuju anaknya telah menjual motor itu. Pembatalan perjanjian jual beli yang dilakukan oleh anak dan gurunya tersebut dapat diajukan ke muka pengadilan oleh orangtuanya yang memiliki kecakapan hukum.
Berdasarkan pembahasan serta analisis di atas, dapat disimpulkan bahwa orang yang tidak cakap hukum adalah orang yang masih belum dewasa dan/atau berada di bawah pengampuan. Ketentuan mengenai seseorang yang belum dewasa, sejak berlakunya SEMA Nomor 7 Tahun 2012 adalah seseorang yang tidak cakap berindak dalam hukum karena belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau belum kawin. Dalam kaitannya dengan hak milik (eigendom), pada prinsipnya orang yang tidak cakap hukum tetap dapat memiliki hak milik sebagai subjek hukum dengan ketentuan bahwa orang tersebut harus diwakili oleh wali atau kurator yang cakap hukum. Selanjutnya, terhadap orang yang tidak cakap hukum juga tetap dapat melakukan transaksi untuk mengalihkan kepemilikan suatu benda, namun diancam dengan pembatalan, jika dalam melakukan transaksi pengalihan hak milik tersebut, tidak diwakili oleh wali atau kuratornya.
Demikian analisis dan pembahasan kami, semoga bermanfaat.
*Jawaban pertanyaan ALSA Legal Assistance ini tidak memiliki kekuatan hukum tetap dan mengikat, dan tidak dapat digunakan sebagai alat bukti dalam persidangan. ALSA Legal Assistance dan ALSA LC UGM tidak dapat digugat maupun dituntut atas segala pernyataan, kekeliruan, ketidaktepatan, atau kekurangan dalam setiap konten yang disampaikan dalam laman ALSA Legal Assistance.
Untuk pendapat hukum lebih lanjut, disarankan untuk menghubungi profesional yang memiliki keahlian pada bidang tersebut*
[1] Tim Yuridis.id, “Kapan Seseorang Dapat Di Katakan Subyek Hukum”, https://yuridis.id/kapan-seseorang-dapat-di-katakan-subyek-hukum/.
[2] R. Subekti, Aneka Perjanjian, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2014), hlm. 9.
[3] Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, Pasal 39 ayat (1) poin (a).
[4] Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Pasal 7 ayat (1).
[5] Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 7 Tahun 2012 Tentang Rumusan Hukum Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan.
[6] Subekti, 2003, Pokok-Pokok Hukum Perdata, PT Intermasa, Jakarta, halaman 41
[7] Abdulkadir Muhammad, 2019, Hukum Perdata Indonesia, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, halaman 146
[8] Op.Cit., Subekti, halaman 51
Op.Cit., Abdulkadir Muhammad, halaman 142 - 143
[9] Kusumasari, Diana, “Pembatalan Perjanjian Yang Batal Demi Hukum”, https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/cl4141/pembatalan-perjanjian/, diakses pada 1 Mei 2021
Comments