Dasar Hukum Pembatalan Perjanjian Pembagian Waris
Pertanyaan:
Hello ALSA, I have a question in regards to inheritance. Due to personal reasons I will not be disclosing my real name. My father died when I was 18, I have a mom and 2 sisters. Upon my father's death my mom told me to sign a bunch of paperworks in front of a notary which I recently realized are papers for inheritance. I feel like I did not consent to those papers because I was also in a lot of pressure. Is there a way to nullify those papers I signed if in the future if I find it disadvantageous for me?
Jawaban:
Terima kasih “R” atas pertanyaannya!
Berikut hasil analisis dan pembahasan kami terkait kasus anda.
Sebelumnya, perlu kita melihat apa saja yang menjadi permasalahan in casu. “R” yang pada saat ayahnya meninggal masih berumur 18 tahun, secara terpaksa dan tertekan menandatangani perjanjian mengenai pembagian warisan bersama dengan ibunya dihadapan seorang notaris. Kemudian, setelah menandatangani perjanjian pembagian warisan tersebut, “R” merasa khawatir bahwa suatu saat perjanjian a quo berpotensi merugikan dirinya. Duduk persoalannya adalah “R” sedang berada di bawah tekanan dan tidak berdasarkan keinginan dari dirinya sendiri pada saat menandatangani perjanjian a quo, serta perlu untuk dilakukan pembahasan lebih lanjut mengenai kecakapannya.
Untuk menjawab persoalan tersebut, penting bagi kita untuk mengetahui mengenai ketentuan dalam pewarisan dan perjanjian terlebih dahulu. Warisan merupakan peninggalan harta pewaris yang sudah meninggal dunia, yang kemudian diserahkan kepada ahli waris yang berhak menurut undang-undang atau wasiat.[1] Terhadap ahli waris, terdapat penggolongan terhadapnya, sebagaimana disebutkan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUH Perdata”), yaitu:
Ahli waris golongan I: Suami atau istri dan anak atau keturunannya.[2]
Ahli waris golongan II: Ayah, ibu, saudara kandung, dan keturunannya.[3]
Ahli waris golongan III: Keluarga sedarah dalam garis lurus ke atas baik dari garis ayah maupun dari garis ibu.[4]
Ahli waris golongan IV: Keluarga sedarah dalam garis ke samping dari garis ayah maupun garis ibu.[5]
Dalam pewarisan, dapat timbul permasalahan waris mengenai pengurusan hak dan kewajiban antara pewaris dengan ahli waris atau penyelesaian pembagian harta waris. Oleh karena itu, penting untuk menyamakan persepsi dalam pewarisan itu sendiri salah satunya adalah dengan membuat perjanjian mengenai pembagian warisan supaya tercipta keadilan dalam pembagian harta warisan.[6]
Perihal perjanjian telah diatur secara komprehensif dalam KUH Perdata. Pasal 1313 KUH Perdata menyebutkan bahwa perjanjian adalah suatu perbuatan dimana satu orang atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang lain atau lebih.[7] Perjanjian terbagi ke dalam dua bentuk, yaitu perjanjian lisan dan tertulis. Perjanjian tertulis, mencakup dua bentuk, yaitu akta di bawah tangan dan akta otentik. Akta di bawah tangan adalah akta yang ditandatangani di bawah tangan dan dibuat tanpa perantara pejabat yang berwenang.[8] Sementara itu, akta otentik merupakan sebuah akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang oleh atau di hadapan pejabat umum yang berkuasa di tempat di mana akta dibuatnya.[9] Sebuah perjanjian penting untuk dibuat sebagai akta otentik karena akta otentik memiliki kekuatan pembuktian, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1870 KUH Perdata, yang menyatakan bahwa akta otentik memberikan bukti yang sempurna tentang isi yang dimuat di dalam akta otentik bagi para pihak beserta para ahli waris yang berkepentingan.[10]
Berdasarkan penjelasan di atas, maka dapat diketahui bahwa dalam persoalan ini, “R” merupakan ahli waris golongan I karena merupakan anak kandung dari mendiang ayahnya. “R” kemudian menandatangani sebuah akta otentik mengenai pewarisan yang dilakukan di hadapan pejabat yang berwenang dimana dalam hal ini adalah notaris, yang kewenangannya diatur dalam Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 2 Tahun 2014 (“UUJN”).
Dari berbagai bentuk perjanjian di atas, perlu diketahui bahwa untuk dapat dikatakan sah, sebuah perjanjian wajib memenuhi syarat sahnya perjanjian, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1320 KUH Perdata, yaitu:
Terdapat kesepakatan antara pihak yang saling mengikatkan diri mereka;
Telah cakap untuk membuat suatu perjanjian;
Suatu hal tertentu;
Kausa yang halal.[11]
Syarat pertama dan kedua disebut sebagai syarat subjektif karena berkaitan dengan subjek dalam perjanjian. Sedangkan syarat ketiga dan keempat disebut sebagai syarat objektif karena berkaitan dengan hal yang diatur di dalam perjanjian. Dalam hal terjadi kondisi dimana syarat subjektif tidak terpenuhi, maka perjanjian dapat dimintakan pembatalan. Sementara itu, dalam hal syarat objektif tidak terpenuhi, maka perjanjian batal demi hukum.
Sehubungan dengan perjanjian pembagian warisan yang telah ditandatangani oleh “R”, terdapat dua hal penting yang dapat dianalisis terkait dengan syarat pertama dan syarat kedua dalam syarat sahnya perjanjian, yaitu unsur kecakapan dan kesepakatan pada saat “R” menandatangani perjanjian pembagian warisan tersebut.
Pertama, terkait dengan kecakapan, dalam Pasal 330 KUH Perdata, diatur bahwa seseorang dianggap cakap atau dewasa apabila telah berusia 21 tahun atau telah kawin.[12] Sementara, dalam Pasal 39 ayat (1) huruf a UUJN, menyatakan bahwa penghadap notaris harus memenuhi syarat, yaitu paling rendah berumur 18 tahun atau sudah menikah.[13] Melihat kedua ketentuan yang berbeda terkait kecakapan, dapat diterapkan asas lex specialis derogat legi generalis yang berarti bahwa peraturan hukum yang khusus akan mengesampingkan peraturan hukum yang umum. Maka berdasarkan asas tersebut, unsur kecakapan dapat mengacu pada UUJN.
Kedua, terkait dengan tekanan atau paksaan dalam menyepakati suatu perjanjian. Dalam Pasal 1321 KUH Perdata, dinyatakan bahwa tidak ada suatu kesepakatan yang sah, apabila terjadi karena kekhilafan, paksaan, atau penipuan.[14] Kemudian, dalam Pasal 1449 KUH Perdata dinyatakan bahwa segala perikatan yang dibuat dengan paksaan, kekhilafan, atau penipuan, dapat dimintakan penuntutan pembatalan atas perikatan tersebut.[15] Mengenai yang dimaksud dengan tekanan atau paksaan, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1324 jo. Pasal 1325 KUH Perdata, bahwa tekanan atau paksaan adalah suatu tindakan yang dilakukan terhadap seseorang maupun terhadap suami atau istri atau sanak keluarga dalam garis ke atas maupun ke bawah untuk membuat atau menyepakati suatu perjanjian.[16] Sementara itu, Prof. Abdulkadir Muhammad, S.H. dalam bukunya yang berjudul “Hukum Perdata Indonesia'' menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan tekanan atau paksaan adalah ketika perbuatan pihak dalam perjanjian disebabkan oleh tekanan atau paksaan dan pihak tersebut berada di bawah ancaman.[17]
Berdasarkan analisis terkait kecakapan dan paksaan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa dalam penandatanganan perjanjian mengenai pembagian warisan tersebut, “R” telah dinilai cakap untuk membuat dan/atau menandatangani perjanjian, namun dalam penandatanganan perjanjian tersebut, diketahui “R” dalam kondisi yang tertekan dan dipaksa pada saat menandatangani perjanjian a quo. Akibat hukum dari adanya tekanan atau paksaan terhadap perjanjian tersebut adalah bahwa perjanjian tersebut merupakan “misbruik van omstandigheden” atau penyalahgunaan keadaan sehingga perjanjian pembagian warisan tersebut menjadi tidak sah dan dapat dijadikan sebagai alasan penuntutan pembatalan atas perjanjian yang telah dibuat dan ditandatangani tersebut.[18]
Dalam pembatalan perjanjian a quo, perlu diketahui pula bahwa suatu akta otentik berlaku asas praduga sah (Vermoeden van Rechmatigheid), yaitu asas yang menilai akta otentik sebagai perjanjian yang sah dan mengikat sebelum adanya putusan pengadilan yang mengatakan tidak sah, sebagaimana disebutkan dalam Penjelasan Umum UUJN.[19] Oleh karena itu, apabila “R” ingin membatalkan perjanjian pembagian warisan yang telah bersifat sebagai akta otentik, “R” harus melayangkan gugatan voluntair perihal permohonan pembatalan perjanjian di hadapan pengadilan.
Sebagai yurisprudensi, dapat dilihat Putusan Pengadilan Tinggi Medan Nomor 184/Pdt/2016/PT.MDN tanggal 24 Oktober 2016. Di dalam kasus mengenai hak waris atas tanah, Penggugat melayangkan gugatan kepada Tergugat agar bisa menguasai tanah yang merupakan hak waris. Setelah ada pemberian keterangan oleh saksi, ternyata dapat dibuktikan bahwa salah satu saksi menandatangani akta jual beli tanah karena salah satu Tergugat mengancam saksi dengan cara memegang parang ketika proses penandatanganan tersebut dilakukan. Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Medan yang mengadili dalam tingkat banding in casu, berdasarkan amar putusannya, mengabulkan banding Penggugat dan akhirnya menghilangkan hak milik atas tanah yang dimiliki oleh Tergugat dan mengalihkannya kepada Penggugat, dikarenakan perjanjian yang tidak sah akibat adanya unsur ancaman atau paksaan ketika Sertifikat Jual Beli (SJB) tersebut ditandatangani oleh Tergugat.[20]
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa perjanjian pembagian warisan yang ditandatangani oleh “R” merupakan akta otentik karena ditandatangani dihadapan seorang notaris. “R” juga merupakan seseorang yang cakap hukum ketika menandatangani perjanjian tersebut karena telah berusia 18 tahun. Terhadap perjanjian pembagian warisan tersebut, “R” memiliki hak untuk membatalkan perjanjian tersebut dikarenakan “R” melakukan penandatanganan perjanjian dalam kondisi berada dibawah tekanan. Oleh karena itu, perjanjian pembagian warisan tersebut tidak sah karena tidak memenuhi syarat sahnya perjanjian yakni kesepakatan para pihak. Pembatalan perjanjian tersebut dapat dilakukan di hadapan pengadilan jika nanti di kemudian hari “R” merasa dirinya dirugikan dari perjanjian tersebut.[21]
Demikian hasil pembahasan dan analisis kami, semoga dapat mencerahkan.
*Jawaban pertanyaan ALSA Legal Assistance ini tidak memiliki kekuatan hukum tetap dan mengikat, dan tidak dapat digunakan sebagai alat bukti dalam persidangan. ALSA Legal Assistance dan ALSA LC UGM tidak dapat digugat maupun dituntut atas segala pernyataan, kekeliruan, ketidaktepatan, atau kekurangan dalam setiap konten yang disampaikan dalam laman ALSA Legal Assistance.
Untuk pendapat hukum lebih lanjut, disarankan untuk menghubungi profesional yang memiliki keahlian pada bidang tersebut*
[1] Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta: Intermasa, 2003), 95.
[2] Kitab Undang-Undang Hukum Perdata [“KUH Perdata”], Pasal 852 dan Pasal 852a.
[3] Ibid, Pasal 854 sampai dengan Pasal 857.
[4] Ibid, Pasal 853.
[5] Ibid, Pasal 858 ayat (2).
[6] Riesta Yogahastama, “Tinjauan Hukum Pembagian Harta Waris sebagai Obyek Perjanjian dalam Sengketa Kewarisan Adat di Indonesia”, Justitia Jurnal Hukum, Vol. 4, No. 1 (April, 2020): 151.
[7] Op. cit, Pasal 1313.
[8] KUH Perdata, Pasal 1874.
[9] Ibid, Pasal 1868.
[10] Ibid, Pasal 1870.
[11] Ibid, Pasal 1320.
[12] Ibid, Pasal 330.
[13] Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014, Pasal 39 ayat (1) huruf a.
[14] KUH Perdata, Pasal 1321.
[15] Ibid, Pasal 1449.
[16] Ibid, Pasal 1323 juncto Pasal 1325.
[17] Prof. Abdulkadir Muhammad, S.H., Hukum Perdata Indonesia, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2017), 300.
[18] KUH Perdata, Pasal 1323 juncto Pasal 1325 juncto Pasal 1331.
[19] Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014, Penjelasan Umum.
[20] Putusan Pengadilan Tinggi Medan Nomor 184/Pdt/2016/PT.MDN, Pengajuan Banding Martin Ginting, 24 Oktober 2016.
[21] Prof. Abdulkadir Muhammad, S.H., Op. Cit, 301.
Comments