Maritime Law Convention: Belum Diterimanya Amandemen 2016 oleh Indonesia
Pertanyaan:
Hello, fellow writers, I’d like to ask a question. Recently, I’ve noticed within the website of ILO that Indonesia is not in force towards the amendments of 2016 to the MLC, 2006. It was stated that we are still awaiting declaration of acceptance. Why is that so? Are there any national laws or policies that may have intervened with Indonesia’s possible acceptance towards the amendment? Thank you !
Jawaban:
Terima kasih RR atas pertanyaannya!
Berikut hasil pembahasan dan analisis Kami mengenai mengapa Indonesia belum meratifikasi Amandemen 2016 MLC 2006 yang ditetapkan oleh ILO pada tahun 2016.
Sebelum membahas topik lebih lanjut, alangkah baiknya kita mengetahui definisi International Labour Organization (“ILO”) dan Maritime Labour Convention (“MLC”) terlebih dahulu. ILO atau Organisasi Perburuhan Internasional merupakan salah satu badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang dibentuk untuk menetapkan standar ketenagakerjaan, mengembangkan kebijakan, dan merancang program yang berkaitan dengan ketenagakerjaan untuk mendukung dan mempromosikan standar pekerjaan yang layak untuk semua kalangan pekerja.[1] ILO didirikan sejak tahun 1919. Hingga saat ini, ILO tercatat telah menjalin kerjasama dengan 187 negara anggota di mana Indonesia merupakan salah satu di antaranya.[2]
Salah satu standar ketenagakerjaan internasional yang telah ditetapkan oleh ILO adalah MLC. MLC merupakan konvensi Internasional yang ditetapkan dalam Konferensi Umum ILO pada tahun 2006 di Jenewa, Swiss.[3] Pemikiran untuk menetapkan konvensi ini dilatarbelakangi oleh kesadaran ILO bahwa pelaut adalah pekerja yang memiliki karakter dan sifat yang berbeda dengan pekerja lainnya.[4] Karakter dan sifat yang berbeda tersebut ditunjukkan dengan sifat lintas negara yang melekat pada pelaut, sehingga dibutuhkan sebuah standar yang bersifat internasional untuk mengakomodasi hak-hak pelaut sebagai pekerja. Secara garis besar, MLC 2006 mengatur mengenai hak-hak dasar pelaut di seluruh dunia yang meliputi upah, syarat kerja (termasuk waktu kerja dan waktu istirahat), perawatan medis, jaminan kesehatan, perekrutan dan penempatan, pelatihan dan pengawasan untuk dilindungi dan dipenuhi dan memberikan standar serta pedoman dalam pemenuhan hak-hak pelaut.[5]
Adapun MLC terdiri dari 5 (lima) bab dengan rincian sebagai berikut:[6]
Bab 1: Syarat minimum bagi para pelaut untuk bekerja di kapal
Bab 2: Kondisi kerja (condition of employment)
Bab 3: Akomodasi, fasilitas-fasilitas rekreasi, makanan, dan katering
Bab 4: Perlindungan kesehatan, perawatan medis, perlindungan keamanan dan kesejahteraan sosial
Bab 5: Penerapan dan penegakkan hukum
Sejak MLC 2006 ditetapkan hingga saat ini, telah terdapat 97 negara yang meratifikasi konvensi tersebut.[7] Indonesia merupakan salah satu negara yang telah meratifikasi MLC 2006 pada tahun 2016 melalui Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2016 (“UU No. 15 Tahun 2016”) tentang Pengesahan Maritime Labour Convention 2006. Ratifikasi MLC 2006 oleh Indonesia baru dapat dilaksanakan pada tahun 2016 dimana ratifikasi ini membawa konsekuensi yakni Indonesia resmi mengikatkan diri pada ketentuan-ketentuan dalam MLC 2006 dan secara otomatis menunjukkan bahwa Indonesia menyatakan persetujuannya untuk mendukung dan melaksanakan ketentuan yang terdapat dalam MLC 2006, tidak terkecuali mendukung dan melindungi hak-hak dasar pelaut yang telah diatur secara komprehensif dalam MLC 2006.[8] Begitu pula ketika terdapat perubahan/amandemen dalam MLC 2006, negara-negara pihak dapat melakukan proses penerimaan (acceptance and approval) yang merupakan tindakan pengesahan suatu negara pihak atas perubahan dalam suatu Perjanjian Internasional, yang menunjukkan bahwa negara-negara tersebut juga menerima, menyetujui, dan memberlakukan amandemen tersebut.[9]
Sejauh ini, MLC 2006 telah mengalami 3 (tiga) kali amandemen, yakni Amandemen 2014 MLC 2006, Amandemen 2016 MLC 2006, dan Amandemen 2018 MLC 2006. Amandemen 2014 MLC 2006 telah diberlakukan oleh Indonesia pada tahun 2017. Terhadap Amandemen 2018 MLC 2006, Indonesia telah menyatakan menerima dan menyetujui amandemen tersebut dan akan mulai diberlakukan pada tanggal 26 Desember 2020 mendatang.[10] Sementara terhadap Amandemen 2016 MLC 2006, status dari amandemen tersebut untuk Indonesia adalah “not in force” atau belum diberlakukan dengan keterangan “awaiting declaration of acceptance” atau menunggu deklarasi penerimaan dari Indonesia.[11] Hal ini yang kemudian menimbulkan pertanyaan terkait mengapa hingga saat ini Indonesia belum memberlakukan Amandemen 2016 MLC 2006.
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, beberapa dasar hukum yang dapat kita rujuk adalah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2000 (“UU No. 24 Tahun 2000”) tentang Perjanjian Internasional dan UU No. 15 Tahun 2016 tentang Pengesahan Maritime Labour Convention 2006.
Sebelumnya, penting bagi kita untuk membahas mengenai Perjanjian Internasional dan pengesahannya oleh negara anggota berdasarkan ilmu hukum internasional. Perjanjian Internasional adalah perjanjian yang dibuat diantara negara-negara dalam bentuk tertulis dan diatur oleh hukum internasional, yang diwujudkan baik yang terkandung dalam satu instrumen atau dalam dua atau lebih instrumen terkait dan apapun sebutan khusus nya.[12] Bentuk dan nama Perjanjian Internasional dalam prakteknya sangat beragam, seperti traktat, konvensi, dan sebagainya.[13] Dalam hal ini, MLC merupakan salah satu contoh dari Perjanjian internasional yang berbentuk konvensi, yang berarti kesepakatan antara berbagai negara yang mengikat secara hukum terhadap negara-negara penandatanganan[14]. Perlu diketahui bahwa terdapat beberapa jenis konvensi yakni konvensi antara dua negara atau yang disebut dengan perjanjian bilateral, konvensi antara sejumlah kecil negara (tetapi lebih dari dua) atau yang disebut dengan perjanjian plurilateral, dan konvensi antara sejumlah besar negara atau yang disebut dengan perjanjian multilateral sebagaimana MLC 2006 ini.[15]
Untuk mengikatkan diri pada suatu Perjanjian Internasional, negara wajib melakukan suatu upaya berupa pengesahan Perjanjian Internasional.[16] Pengesahan suatu Perjanjian Internasional oleh suatu negara merupakan tahap yang penting sebab pada saat itu suatu negara secara resmi mengikatkan diri pada suatu perjanjian.[17] Dalam mengesahkan suatu Perjanjian Internasional, terdapat 2 (dua) landasan teori yang dapat digunakan yaitu teori kepentingan nasional dan teori kebijakan luar negeri. Teori kepentingan nasional adalah teori yang menggunakan tujuan-tujuan yang ingin dicapai sehubungan dengan kebutuhan bangsa/negara atau sehubungan dengan hal yang dicita-citakan sebagai landasan suatu negara melakukan pengesahan Perjanjian Internasional.[18] Kepentingan nasional yang dimaksud meliputi unsur-unsur yang membentuk kebutuhan secara vital, seperti pertahanan, keamanan, militer, politik, dan kesejahteraan ekonomi.[19] Apabila dikaitkan dengan MLC 2006 dan amandemen-amandemennya, tiap negara tidak terkecuali Indonesia pasti juga membawa kepentingan nasionalnya masing-masing sebagai sesuatu yang hendak diperjuangkan untuk dipenuhi.
Sementara itu, teori kebijakan luar negeri merupakan strategi atau rencana tindakan yang dibuat oleh para pembuat keputusan negara dalam menghadapi negara lain atau unit politik internasional lainnya, dan dikendalikan untuk mencapai tujuan nasional spesifik dalam kepentingan nasional.[20] Sebagai suatu sistem, rangsangan dari lingkungan eksternal dan domestik menjadi suatu input yang mempengaruhi kebijakan luar negeri suatu negara.[21] Hal ini kemudian dipersepsikan oleh para pembuat keputusan dalam suatu proses konversi menjadi sebuah output.[22] Selama proses konversi dalam merumuskan kebijakan luar negeri, suatu negara mengacu pada situasi eksternal maupun internal serta mempertimbangkan tujuan dan kepentingan nasional yang dimiliki.[23] Apabila dikaitkan dengan MLC 2006 dan amandemen-amandemennya, Indonesia memperhatikan situasi eksternal maupun internal serta kepentingan nasional yang dimilikinya untuk menentukan kebijakan luar negeri atas pengesahan ketentuan-ketentuan tersebut.
Pengesahan suatu Perjanjian Internasional dapat dilakukan melalui 4 (empat) cara, yakni ratifikasi (ratification), aksesi (accession), penerimaan (acceptance), dan persetujuan (approval). Dikarenakan dalam tulisan ini yang dibahas adalah penerimaan dan persetujuan terhadap Amandemen 2016 MLC 2006 sebagai suatu Perjanjian Internasional, maka pembahasan akan kami fokuskan pada penerimaan dan persetujuan.
Penerimaan (acceptance) dan penyetujuan (approval) merupakan pernyataan menerima atau menyetujui dari negara-negara pihak pada suatu Perjanjian Internasional atas perubahan Perjanjian Internasional.[24] Untuk menyatakan penerimaan dan persetujuan atas perubahan Perjanjian Internasional, suatu negara yang diwakili oleh Kepala Negara/Kepala Pemerintahan/Menteri Luar Negeri harus menandatangani instrument of acceptance or approval.[25] Instrumen penerimaan atau persetujuan dari suatu Perjanjian Internasional ini memiliki kekuatan hukum yang sama dengan ratifikasi.[26] Hal ini berarti negara tersebut telah menyatakan persetujuannya untuk terikat oleh Perjanjian Internasional tersebut.[27] Dalam praktik di beberapa negara, penerimaan dan persetujuan telah digunakan sebagai pengganti ratifikasi ketika, di tingkat nasional, undang-undang konstitusional negara tersebut tidak mewajibkan perjanjian untuk diratifikasi oleh kepala negara.[28] Akan tetapi di Indonesia sendiri perubahan atas suatu Perjanjian Internasional yang telah disahkan oleh Pemerintah Republik Indonesia dilakukan dengan peraturan perundangan yang setingkat.[29]
Untuk melakukan pengesahan suatu Perjanjian Internasional, Indonesia perlu mencermati 2 (dua) konsekuensi penting, yaitu transformasi ke dalam hukum nasional dan kewajiban Indonesia memberikan laporan kepada lembaga yang ditentukan dalam Perjanjian Internasional tersebut.[30] Pertama, transformasi ke dalam hukum nasional dilakukan dengan menerjemahkan kewajiban dalam Perjanjian Internasional kedalam hukum nasional.[31] Transformasi tersebut akan menyebabkan penyesuaian dalam hukum nasional, yang membawa konsekuensi lebih lanjut, yakni keharusan untuk segera mengamandemen hukum nasional yang bertentangan dengan ketentuan Perjanjian Internasional yang akan disahkan menurut hukum nasional.[32] Kedua, munculnya kewajiban melaporkan progress kepada lembaga yang ditentukan oleh Perjanjian Internasional harus dipertimbangkan dengan kapasitas aparat penegak hukum untuk menegakkan ketentuan dalam Perjanjian Internasional tersebut.[33] Ketidakmampuan aparat penegak hukum untuk menegakkan ketentuan dalam Perjanjian Internasional yang sudah diratifikasi hanya akan menimbulkan citra bahwa Indonesia tidak bisa memenuhi komitmen. Oleh karena itu, dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa pengesahan terhadap suatu Perjanjian Internasional berimplikasi pada banyaknya penyesuaian yang harus dilakukan suatu negara untuk menyelaraskan hukum internasional dan hukum nasional. Hal ini juga terkait dengan pelaksanaan dari ketentuan-ketentuan dalam Perjanjian Internasional yang sudah disahkan oleh suatu negara dimana implementasi ketentuan tersebut dilaksanakan berdasarkan hukum nasional sehingga harmonisasi antara hukum internasional dengan hukum nasional negara tersebut sangat diperlukan.
Berdasarkan uraian tersebut dapat diketahui bahwa pengesahan suatu Perjanjian Internasional bukanlah suatu hal yang sederhana, tidak terkecuali mengesahkan amandemen dari sebuah Perjanjian Internasional yang dalam hal ini adalah pengesahan Amandemen 2016 MLC 2006 oleh Indonesia. Amandemen 2016 MLC 2006 yang belum dinyatakan penerimaannya oleh Indonesia berfokus pada dua poin, yaitu konsiderasi terhadap pelecehan dan perundungan serta perpanjangan terhadap Sertifikat Tenaga Kerja Maritim (Maritime Labour Certificate).[34] Amandemen ini menambahkan poin pelecehan dan perundungan sebagai salah satu hal yang harus dikonsiderasikan dalam poin perlindungan keselamatan dan kesehatan, serta dalam poin investigasi dalam hal terjadi kecelakaan yang mengakibatkan kematian, luka yang serius, maupun kasus lainnya yang dapat diatur lebih rinci dalam hukum nasional.[35] Selain itu, amandemen ini juga memungkinkan perpanjangan sementara Sertifikat Tenaga Kerja Maritim setelah dilakukan inspeksi pembaruan (renewal inspection) dan berlaku selama tidak lebih dari lima bulan sejak tanggal kadaluarsa sertifikat tersebut.[36]
Indonesia sendiri belum memiliki ketentuan hukum yang berkaitan dengan pelecehan dan perundungan sebagaimana yang telah diatur dalam Amandemen MLC 2016. Padahal, seperti yang telah diuraikan sebelumnya, harmonisasi antara hukum internasional dengan hukum nasional dalam pengesahan Perjanjian Internasional merupakan hal yang sangat penting terutama berkenaan dengan implementasi ketentuan dari Perjanjian Internasional tersebut nantinya. Tanpa adanya payung hukum nasional yang jelas mengenai ketentuan yang hendak disahkan hal ini akan menimbulkan kecenderungan adanya kesulitan pengimplementasian ketentuan dalam Amandemen 2016 MLC 2006. Jika dikaitkan dengan teori kepentingan nasional, maka dapat dikatakan belum diterimanya Amandemen 2016 MLC 2006 oleh Indonesia adalah karena sulitnya pengimplementasian amandemen tersebut akan menghambat tercapainya tujuan nasional. Hal ini dikarenakan pengimplementasian instrumen hukum internasional tanpa dasar hukum nasional yang jelas akan menimbulkan ketidakpastian hukum dan kemudian akan menyebabkan kerugian dalam banyak aspek. Oleh karena itu, Indonesia masih belum dapat memberikan deklarasi penerimaan terhadap Amandemen 2016 MLC 2006.
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa untuk mengesahkan atau menerima sebuah amandemen diperlukan dasar hukum nasional yang jelas. Pengesahan terhadap amandemen dari suatu konvensi akan memerlukan penyesuaian dengan hukum nasional agar tidak terjadi tumpang tindih atau pertentangan dengan hukum nasional serta hukum nasional yang selaras diperlukan untuk untuk implementasi lebih lanjut dari ketentuan konvensi tersebut. Amandemen 2016 MLC 2006 yang menekankan pada poin perundungan dan pelecehan hingga kini belum dinyatakan penerimaannya oleh Indonesia dikarenakan Indonesia belum memiliki instrumen hukum yang mengatur secara khusus mengenai pelecehan dan perundungan sebagaimana dimaksud dalam Amandemen 2016 MLC 2006. Tanpa adanya payung hukum nasional, implementasi poin amandemen tersebut akan sulit dilakukan. Hal ini karena konvensi hanya mengatur secara umum dan masih membutuhkan hukum nasional untuk pengimplementasiannya.
Demikian hasil pembahasan dan analisis dari Kami, semoga dapat mencerahkan.
*Jawaban pertanyaan ALSA Legal Assistance ini tidak memiliki kekuatan hukum tetap dan mengikat, dan tidak dapat digunakan sebagai alat bukti dalam persidangan. ALSA Legal Assistance dan ALSA LC UGM tidak dapat digugat maupun dituntut atas segala pernyataan, kekeliruan, ketidaktepatan, atau kekurangan dalam setiap konten yang disampaikan dalam laman ALSA Legal Assistance.
Untuk pendapat hukum lebih lanjut, disarankan untuk menghubungi profesional yang memiliki keahlian pada bidang tersebut*
Dasar Hukum
[1] International Labour Organization. About The ILO. Diunduh dari https://www.ilo.org/global/about-the-ilo/lang--en/index.htm [2] Ibid. [3] Millati Azka. 2019. ‘Penerapan Kualifikasi Kesehatan Awak Kapal Berdasarkan Maritime Labour Convention (MLC) 2006 di PT. Berlian Laju Tanker TBK, Jakarta’. Skripsi. Politeknik Ilmu Pelayaran Semarang. Semarang. Diunduh dari http://repository.pip-semarang.ac.id/2148/1/51145515.%20K_open_access.pdf [4] Ibid [5] Nina Farah A. (2018). ‘Perlidungan Pelaut Indonesia di Luar Negeri Melalui Ratifikasi Maritime Labour Convention, 2006’. Juris-Diction. 2(6). Diunduh dari https://e-journal.unair.ac.id/JD/article/view/11015/6240 [6] Ibid. [7] International Labour Organizations. Ratifications of MLC, 2006- Martime Labour Convention, 2006 (MLC,2006). Diunduh dari https://www.ilo.org/dyn/normlex/en/f?p=NORMLEXPUB:11300:0::NO::P11300_INSTRUMENT_ID:312331 [8] Salmah Wati. (2014) ‘Kepentingan Indonesia Tidak Meratifikasi Maritime Labour Convention (MLC) Tahun 2006-2014’. Join FISIP. 1(2). Diunduh dari https://media.neliti.com/media/publications/31795-ID-kepentingan-indonesia-tidak-meratifikasi-maritime-labour-convention-mlc-tahun-20.pdf [9] Penjelasan UU No. 24 Tahun 2000 [10] International Labour Organizations. Acceptance of amendments of 2016 to the MLC, 2006. Diunduh dari https://www.ilo.org/dyn/normlex/en/f?p=1000:11301:::NO:RP,11301:P11301_INSTRUMENT_AMENDMENT_ID,P11301_INSTRUMENT_ID:3303970,312331 [11] Ibid. [12] Article 2(1)(a) Vienna Convention on the Law of Treaties 1969 [13] Penjelasan UU No. 24 Tahun 2000 [14] United Nations. Frequently Asked Questions. Diunduh melalui https://www.un.org/esa/socdev/enable/convinfofaq.htm#q1/ [15] Cornell Law School. International Conventions. Diunduh dari https://www.law.cornell.edu/wex/international_conventions [16] Pasal 1 Angka 2 UU No. 24 Tahun 2000 [17] Pasal 1 Angka 2 UU No. 24 Tahun 2000 [18] T.May Rudy. (2002). Studi Strategis Dalam Transformasi Sistem Internasional Pasca Perang Dingin. Bandung : Refika Aditama. [19] Salmah Wati. (2014) ‘Kepentingan Indonesia Tidak Meratifikasi Maritime Labour Convention (MLC) Tahun 2006-2014’. Join FISIP. 1(2). Diunduh dari https://media.neliti.com/media/publications/31795-ID-kepentingan-indonesia-tidak-meratifikasi-maritime-labour-convention-mlc-tahun-20.pdf [20] Jack C. Plano dan Roy Olton. (1999). Kamus Hubungan Internasional. Bandung: Abardin. [21] Salmah, op.cit. [22] Ibid. [23] Ibid. [24] Penjelasan UU No. 24 Tahun 2000 [25] United Nations. 2012. Treaty Handbook. Diunduh melalui https://treaties.un.org/doc/source/publications/THB/English.pdf [26] Ibid. [27] Ibid. [28] Ibid. [29] Pasal 16 Ayat (3) UU No. 24 Tahun 2000 [30] Ananda K. Sukarmaji. Makalah Perjanjian Internasional (Ratifikasi, Aksesi, dan Reservasi). Diunduh dari https://www.academia.edu/25599402/Makalah_Perjanjian_Internasional_Ratifikasi_Aksesi_dan_Reservasi_ [31] Ibid. [32] Ibid. [33] Ibid. [34] International Labour Organizations. Amandemen 2016 MLC 2006. Diunduh melalui https://www.ilo.org/dyn/normlex/en/f?p=NORMLEXPUB:91:0::NO::P91_ILO_CODE:C186 [35] Ibid [36] Ibid
Comments