Novel Baswedan dan Intimidasi Terhadap Usaha Pemberantasan Korupsi
Belum lama terjadi, tepatnya dua pekan yang lalu pada tanggal 11 April 2017 kasus penyiraman terhadap salah satu anggota KPK Novel Baswedan terjadi. Beliau di siram air keras oleh sejumlah orang tidak dikenal seusai melaksanakan sholat subuh di Masjid Al-Ihsan pada pukul 05:00 WIB. Kasus ini menjadi trending topic karena beliau merupakan penyidik yang sedang menangani korupsi E-KTP sehingga kasus ini banyak dikaitkan dengan kasus yang sedang ditanganinya, sebelum akhirnya kalah pamor dengan pemilu DKI Jakarta. Meskipun belum ditemukan bukti-bukti terkait kasus tersebut dan menunjukkan adanya kaitan dengan kasus yang sedang ditangani beliau, namun kasus ini menggambarkan adanya upaya intimidasi terhadap usaha pemberantasan korupsi di Indonesia.
Kasus Novel Baswedan menjadi cerminan adanya intimidasi terhadap upaya pemberantasan korupsi di Indonesia, dimana intimidasi tersebut dalam berbagai wujud seperti upaya pelemahan KPK melalui revisi UU KPK yang saat ini tengah digaungkan oleh DPR, atau lebih lawas tindakan seorang oknum Komisi III (Komisi Hukum) DPR yang mempermasalahkan keabsahan putusan pemimpin KPK apabila hanya diambil dari empat ketua ketika salah satu ketuanya, Antasari Azhar, ditangkap oleh pihak berwajib. Meski berbeda rupa, namun kesemuanya memiliki tujuan dan motif yang sama, melemahnya upaya pemberantasan korupsi.
Pelemahan upaya pemberantasan korupsi merupakan tujuan utama dari intimidasi terhadap usaha pemberantasan korupsi. Dengan melemahnya upaya pemberantasan korupsi maka ruang gerak koruptor dalam menjalankan modus operandi-nya semakin luas. Jika ruang gerak semakin luas, maka akan terus terjadi tindak pidana korupsi yang jika semakin banyak tentunya akan semakin sulit ditangani. Seperti contoh kasus korupsi pengadaan E-KTP yang sedang ditangani oleh Novel Baswedan. Upaya pelemahan terhadap pengusutan kasus E-KTP tentu saja bertujuan untuk mencegah mencuatnya nama-nama yang berada di balik kasus tersebut dan penegakan hukum terhadapnya. Dengan demikian maka mereka dapat leluasa dalam menjalani hidup dan melakukan tindak pidana korupsi tanpa takut terkena hukuman.
Intimidasi terhadap pemberantasan korupsi yang terus digencarkan oleh para koruptor terus dilakukan dan tidak akan diperlemah karena korupsi itu sendiri melibatkan banyak pihak dan kecenderungan dilakukan secara berjamaah. Ibaratnya korupsi merupakan sebuah gunung es dimana pada permukaannya memuat nama-nama yang berada di bawah garis komando korupsi atau orang-orang yang sengaja disiapkan sebagai “kambing hitam”. Semakin kebawah permukaan air, gunung es tersebut berukuran semakin besar dan tidak nampak. Di sanalah pangkal dari terjadinya korupsi dimana yang terlibat merupakan petinggi negara dan mendapatkan bagian yang paling besar dari korupsi.
Kasus yang menimpa Novel Baswedan sebagai contoh intimidasi terhadap para pemberantas korupsi tidak dapat dianggap sebelah mata dan harus ditelusuri dalang dibaliknya. Jika dapat dibuktikan bahwa dalang dibalik kasus tersebut sama dengan pihak yang terlibat dalam kasus yang ditanganinya (kasus korupsi E-KTP) maka akan memperbesar peluang untuk mengungkap pihak-pihak yang terlibat dari kasus tersebut dan yang mendapatkan bagian atau manfaat darinya. Dengan demikian akan menjadi semacam blow-up terhadap intimidasi terhadap upaya pemberantasan korupsi.
Untuk mengurangi hal ini terus berlanjut, maka sudah sepatutnya kita bersama sebagai Warga Negara Indonesia memberanikan diri untuk tetap berpenggang teguh melawan tindak pidana korupsi. Hal ini tertuang dalam Pasal 41 (1) UU No 31 Tahun 1999 bahwa masyarakat dapat berperan serta membantu upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi.” Disamping itu, tindakan-tindakan yang dapat membahayakan nyawa seseorang haruslah diusut tuntas sehingga masayarakat juga tidak merasa ragu dan takut untuk melawan korupsi. Karena apabila tindak korupsi dilawan bersama dan adanya kesadaran dari diri kita sendiri, maka korupsi di Indonesia sendiri akan berkurang.
Jadi, dalam hal ini masalah Korupsi sendiri adalah masalah bersama yang harus kita tuntaskan agar tidak menimbulkan terncamnya nyawa seseorang seperti apa yang dialami oleh Novel Baswedan tersebut.
Referensi:
Rianto, Bibit Samad. Koruptor Go To Hell, Mengupas Anatomi Korupsi Di Indonesia. Jakarta, Indonesia: Hikmah, 2009.
Kemala Movanita, Ambaranie Nadia. "12 Hari Menanti Terungkapnya Kasus Penyiraman Novel Baswedan." Kompas.com. April 23, 2017. Accessed April 25, 2017. http://nasional.kompas.com/read/2017/04/23/12355821/12.hari.menanti.terungkapnya.kasus.penyiraman.novel.baswedan.
https://www.kpk.go.id/images/pdf/Undang-undang/uu311999.pdf