Release Materi: ALSA LEGAL DISCUSSION
ALSA Legal Discussion merupakan kegiatan tahunan dari ALSA LC UGM dan termasuk ke dalam Program Kerja Law Development Division yang telah dilaksanakan pada tanggal 5 April 2017. Pada tahun ini, Legal Discussion mengangkat tema tentang kekerasan terhadap perempuan. Issue ini tergolong issue yang cukup diperbincangkan di Indonesia, karena issue ini sering dikaitkan kepada kekerasan yang berbasis gender, sebagaimana kita ketahui dalam era masyarakat modern ini sangat menjunjung tinggi kesetaraan gender dan menentang segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan.
Berdasarkan Catatan Tahunan yang dikeluarkan oleh Komnas Perempuan, sepanjang tahun 2016 terjadi setidaknya 259.150 kasus kekerasan terhadap perempuan dan daerah yang paling tinggi adalah DKI Jakarta dengan 2.552 kasus. Ranah dari kekerasan tersebut meliputi, Ranah personal artinya pelaku adalah orang yang memiliki hubungan darah (ayah, kakak, adik, paman, kakek), kekerabatan, perkawinan (suami) maupun relasi intim (pacaran) dengan korban; Ranah komunitas artinya pelaku dan korban tidak memiliki hubungan kekerabatan, darah ataupun perkawinan. Bisa jadi pelakunya adalah majikan, tetangga, guru, teman sekerja, tokoh masyarakat, ataupun orang yang tidak dikenal; Ranah negara artinya pelaku kekerasan adalah aparatur negara dalam kapasitas tugas. Termasuk dalam kasus di ranah negara adalah ketika pada peristiwa kekerasan, aparat negara berada di lokasi kejadian namun tidak berupaya untuk menghentikan atau justru membiarkan tindak kekerasan tersebut berlanjut. Prosentase dari kekerasan tersebut adalah 75% terjadi di Ranah Personal, 23% terjadi di ranah komunitas, 2% di Ranah Negara.
Dari ketiga ranah diatas (Personal-Komunitas-Negara), perempuan sebagai korban belum mendapatkan keadilan dikarenakan banyaknya yang takut atau malu untuk melaporkan hal apa yang menimpanya sehingga proses penegakkan keadilan menjadi sedikit terhambat, dan tidak sedikit juga perempuan yang tidak begitu mengetahui pengetahuan hukum. Kondisi ketidaktahuan perempuan tentang pengetahuan hukum dikarenakan dalam sistem masyarakat yang patriarkhi, perempuan ditempatkan dalam posisi subordinat sebagai warga negara kelas dua. Sebagai kelompok subordinat maka tidak menjadi prioritas dalam mendapatkan informasi dan pengetahuan hukum. Hak informasi dilekatkan pada kepala keluarga. Hal tersebut berdampak pada perempuan yang menjadi korban kekerasan terhadap perempuan. Untuk itu, pemberdayaan hukum sangat penting dilakukan guna mengakses keadilan yang dibutuhkan oleh perempuan korban.
Sebenarnya Pemerintah Indonesia tidak hanya diam melihat kondisi ini, hal ini bisa dilihat dari disahkannya Undang Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT), dan dua tahun kemudian diterbitkan pula Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2006 tentang Penyelenggaraan dan Kerja sama Pemulihan Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga, bahkan di dalam KUHP juga telah diatur tentang pelarangan pemerkosaan sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 285 KUHP dan sanksi dari perbuatan tersebut dapat dikatakan cukup berat yakni maksimal 12 tahun penjara, namun tetap saja tidak membuat jera para pelaku ataupun dijadikan pelajaran agar perbuatan pemerkosaan tersebut tidak berulang. Hal ini tentu saja membuat miris, karena meskipun sudah ada peraturan yang melindungi hak-hak perempuan, tetap saja kekerasan terhadap perempuan tetap terjadi dan jumlahnya sangat tinggi sekali tiap tahunnya. Kemudian dari sini timbulah pertanyaan apakah dalam penegakkan hukum yang kurang maksimal atau memang moralitas masyarakat kita yang mengalami degradasi? Atau bahkan kedua-duanya? Jika dilihat melalui kasus nyata yang terjadi, ada seorag perempuan yang menjadi korban sodomi kemudian melaporkan hal tersebut kepada polisi, tetapi laporan tersebut oleh polisi ditolak dengan alasan bahwa sodomi hanya berlaku kepada sesama laki-laki dan tidak berlaku kepada perempuan. Padahal jika kita lihat di kbbi, arti sodomia adalah senggama yang melalui anal, hal ini mengindikasikan aparat penegak hukum minim sekali pengetahuan akan hal ini dan berimplikasi pada tidak tercapainya keadilan oleh korban serta tersangka tidak terjerat oleh hukum.
Maka dari itu, sudah menjadi PR dari segala pihak, baik itu pemerintah, komunitas, serta penegak hukum untuk turut serta berperan menghapuskan atau setidaknya menekan angka kekerasan yang terjadi kepada perempuan. Hal ini dapat dicapai dengan suatu cara yang sangat fundamental, yakni dengan menyamakan persepsi tentang laki-laki dan perempuan dianggap memiliki status kedudukan yang sama dalam sistem masyarakat, tidak ada superioritas maupun inferioritas. Serta meluruskan pemahaman bahwa kekerasan yang terjadi dalam ranah personal harus ditutup karena merupakan masalah individu dan bukan masalah sosial, karena ketika itu sudah melanggar hak perempuan sebagai manusia meskipun itu dalam ranah personal sekalipun tetap saja harus diproses ke ranah hukum demi tegaknya keadilan bagi korban.