Unsur Legalitas Pada Kasus Penodaan Agama Basuki T. Purnama
“Barang siapa di muka umum menyatakan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap suatu atau beherapa golongan rakyat Indonesia, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah”
Indonesia adalah negara keempat dengan populasi terbanyak di dunia, dan juga merupakan negara dengan 85% pemeluk agama Islam. Dengan jumlah seperti itu, Indonesia juga bisa dikatakan sebagai negara islam, dan hal ini tentu saja membuat gempar ketika seorang yang menjadi panutan sebuah Ibukota Besar, didakwa oleh tuntutan penistaan agama, beliau didakwa dengan Pasal 156 (A) KUHP tentang penistaan Agama.
Kasus ini sendiri berawal dari pidato Basuki Tjahja Purnama, alias Ahok saat melakukan kunjungan kerja program pemberdayaan budi daya kerapu di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu tanggal 27 September 2016 dan pernyataan yang Beliau lontarkan berhubungan dengan Al – Quran Surat Al – Maidah ayat 51. Namun, terjadi kontroversi terhadap pernyataan beliau yang mengatakan "Kan bisa saja dalam hati kecil Bapak Ibu, nggak pilih saya karena dibohongi (orang) pakai Surat Al Maidah 51 macam-macam itu. Itu hak Bapak Ibu. Kalau Bapak Ibu merasa nggak bisa pilih karena takut masuk neraka, dibodohin, begitu, oh nggak apa-apa, karena ini panggilan pribadi Bapak Ibu,". Pernyataan ini menjadi sorotan publik ketika video rekaman pidato tersebut diunggah oleh Buni Yani di Facebook pada tanggal 6 Oktober 2016 yang menyebabkan jatuhnya dakwaan terhadap Ahok dan sidang yang telah berlangsung beberapa kali, yaitu 7 November 2016 ketika Ahok diperiksa selama 9 jam dan dicecar 22 pertanyaan, Sidang pertama pada tanggal 15 November 2016 yang dibuka secara terbatas, hingga Sidang terakhir pada 13 Desember 2016 yang menyebabkan tim kuasa hukum Ahok banding karena keputusan hakim dianggap terpengaruh tekanan massa.
Pada ekstensi dari pasal 156 KUHP yaitu pasal 156A, terdakwa akan didakwa dengan hukuman paling lama 5 tahun penjara, untuk siapa saja yang mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan dimuka umum yang bersifat permusuhan, penyalahgunaan dan penodaan terhadap suatu agama di Indonesia. Maka dari itu, dalam sudut pandang tekstual, terbentuklah sebuah kontroversi terhadap statement Ahok sendiri, dimana pernyataan A lebih mengarah kepada penistaan agama dimana beliau menghina salah satu ayat dari kitab suci Al Qur’an, dan statement B yang lebih menganjurkan masyarakat untuk memilih berdasarkan konsep free will, dan menjauhkan mereka dari pengaruh-pengaruh eksternal yang mengatasnamakan ayat dari kitab suci tersebut, karena dalam UUD 1945 kita pula, Indonesia adalah negara republik yang memiliki sifat demokrasi dan juga non-sekuler, hal ini merupakan sesuatu yang kerap dilupakan oleh masyarakat pula bahwa sila pertama pada ideologi dasar bangsa Indonesia, adalah ketuhanan yang maha esa, dan hal ini seharusnya menimbulkan kebiasaan bernegara yang baik, tanpa adanya pembentukan kaum mayoritas dan minoritas.
Berdasarkan konsep legalitas dari hukum pidana itu sendiri. Hukum Prosedural Pidana Indonesia mengatur bahwa untuk mendakwa seseorang, dibutuhkan nya suatu maksud (“voornemen”) yang berarti niat atau kehendak untuk melakukan sebuah tindak pidana. Maka dari itu, sejak teori niat ini bersifat subjektif, maka dari itu dibuktikannya suatu pembuktian dari pernyataan ini bahwa sebetulnya terdakwa betul-betul mempunyai niat, dan juga ditemukannya bukti-bukti yang mengarah pada niat jahat ( “mens rea”), hingga bisa dibuktikannya bahwa pelaku benar – benar melakukan suatu perbuatan jahat (“actus reus”).
Maka dari itu, untuk benar – benar membuktikan apakah terdakwa benar- benar bersalah, dibutuhkan suatu proses penyidikan yang bersih dan benar – benar objektif untuk sampai ke sebuah konklusi. Hal ini meliputi menyidik latar belakang subjek hingga ke akar – akarnya seperti kehidupan pribadi dan meneliti gestur beliau ketika menyampaikan pesan tersebut kepada masyarakat luar, guna agar niat serta apakah beliau benar – benar menistakan agama atau tidak.
Hal ini tiba kepada pernyataan, apakah dengan begitu beliau masih bisa mencalonkan diri sebagai kepala daerah? Jawabannya adalah ya, beliau masih bisa mencalonkan diri sebagai kepala daerah karena menurut peraturan KPU Nomor 9/2016 pasal 88 (1) yaitu “Pasangan Calon terbukti melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun atau lebih berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, sebelum hari pemungutan suara” dimana menurut pasal 156 KUHP, perbuatan penistaan agama tersebut didakwa dengan pidana penjara paling lama selama 4 tahun.
Namun yang benar – benar disayangkan dari kasus ini adalah, reaksi masyarakat luas terhadap kasus ini yang terkesan sedikit “menyudutkan” terdakwa, dan pernyataan ini tidak didasari oleh unsur politis apapun maupun kenyataan sosial dari masyarakat terhadap beliau, namun pernyataan ini datang dari kecemasan saya terhadap mayoritas masyarakat yang masih buta akan esensi dari faedah dari hukum pidana modern yang seharusnya di implementasikan di kasus – kasus seperti ini.
Di hari- hari awal hukum pidana, hukum pidana mengadaptasi teori klasik dimana hukum pidana mempunyai kecenderungan untuk mengemphasis perbuatan dari terdakwa, dengan single track system dan bersifat retributif serta represif, namun sesuai dengan perkembangan zaman, lahirlah teori hukum pidana modern dimana hukum pidana mempunyai esensi hukum untuk menghilangkan perbuatan serta harus berhubungan dengan bidang – bidang lain seperti psikologi, kriminologi dan juga berdiri sebagai “ultimum remedium” atau upaya terakhir untuk menyelesaikan masalah – masalah di tengah masyarakat.
Maka dari itu, sebagai generasi di abad 21 ini, kita pun harus menjadi generasi yang benar – benar mengadaptasi hukum pidana modern dan menghilangkan kebiasaan untuk berfikiran dimana hukum pidana adalah untuk membuat seseorang jera se jera-jeranya, dan mulai berfikiran bahwa hal tersebut berdiri agar hal – hal yang sama tidak terjadi lagi di kemudian hari, dan juga objektif dalam menentukan motif dalam niat yang dilakukan orang ketika melakukan suatu tindak kriminal dan bisa melihat dalam gambar yang lebih besar. Maka itu, hingga palu yang menyatakan terdakwa bersalah belum diketuk, itulah saat terbaik untuk membuka mata, dan mulai mengawal kasus ini secara objektif.