Belenggu Kebebasan
Freedom! Freedom! Cut me loose!
Cause I need Freedom too!
Beyonce
Hak Asasi Manusia (HAM) sebagai hak yang melekat pada diri manusia sejak lahir, merupakan anugerah dari Tuhan Yang Maha Esa yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormahatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia. Tak dapat dipungkiri, HAM di era reformasi ini merupakan sesuatu yang sangat penting dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Pemenuhan HAM tidak dapat maksimal apabila hanya didukung oleh unsur masyarakat. Negara sebagai wadah berkumpulnya masyarakat juga harus turut andil dalam pemenuhan HAM. Peradaban manusia yang semakin berkembang pesat di jaman globalisasi ini, menuntut negara untuk selalu siap dalam memenuhi hak asasi setiap warga negaranya, termasuk melindungi warga negara dari kejahatan dalam media sosial akibat perkembangan jaman.
Media sosial merupakan salah satu wadah untuk berkomunikasi, menyalurkan atau mendapatkan informasi secara bebas dengan bantuan internet. Sebagai salah satu wadah berkomunikasi, media sosial yang merupakan media massa (pers) pun sejatinya memiliki fungsi yang sama yaitu fungsi kontrol sosial. Setidaknya ada 4 fungsi kontrol sosial yang dimiliki media sosial atau media massa yaitu: (i) Social participation (keikutsertaan rakyat dalam pemerintahan), (ii) Social responsibility (pertanggungjawaban pemerintah terhadap rakyat), (iii) Social support (dukungan rakyat terhadap pemerintah), (iv) Social control (kontrol masyarakat terhadap tindakan-tindakan pemerintah).[1] Fungsi kontrol sosial yang dimiliki media sosial dapat terjadi karena masyarakat melalui media sosial dapat menciptakan opini publik tertentu dan bahkan dapat menggerakan massa. Karena kemampuan media sosial yang begitu hebat dalam menjaring massa dan membangun persepsi masyarakat, media massa juga memiliki peluang dalam melakukan kejahatan baik berupa mala in se maupun mala prohibita. Sebagai wadah untuk menyalurkan atau mendapatkan informasi, media sosial amatlah relevan dengan amanah Pasal 28 F Undang-Undang Negrara Repbulik Indoensia 1945 yang berbunyi, “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.” Hak untuk berkomunikasi memperoleh dan menyalurkan informasi sejatinya merupakan manifestasi dari kebebasan berpendapat. Kebebasan berpendapat di muka umum baik lisan maupun tulisan pada dasarnya merupakan hak setiap warga negara yang harus diakui, dijamin, dan dipenuhi oleh negara. Indonesia sebagai negara hukum pun telah mengatur jaminan tersebut dalam UUD.
Kebebasan berpendapat merupakan bagian dari HAM yang sangat fundamental. Hal ini juga sudah mendapat pengakuan internasional dari Deklarasi Universal HAM (DUHAM) pada tahun 1948 dan diakomodasi pada Pasal 19 UUD NRI 1945 yang berbunyi, “Setiap orang berhak atas kebebasan berpendapat atau mengeluarkan pendapat...”. Kebebasan berpendapat merupakan prinsip dasar dalam negara demokrasi, termasuk Indonesia. Namun demikian, kebebasan berpendapat sebagai salah satu bagian dari prinsip demokrasi bukan tanpa batas. Kebebasan berpendapat haruslah tetap dibatasi oleh undang-undang ataupun oleh HAM. Hal ini sebagai upaya menjamin perlindungan, pengakuan, dan penghormatan terhadap hak dan kebebasan orang lain.
Pembatasan Kebebasan Berpendapat
Sebagaimana yang dirumuskan dalam alinea ke-empat UUD NRI 1945, “.. membentuk suatu Pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan tumpah darah Indonesia....”, maka dari itu untuk melindungi hak asasi warga negaranya, pemerintah juga aktif dalam membuat peraturan yang membatasi kebebasan berpendapat, tujuannya agar jangan sampai ada hak-hak warga negara yang tertindas, jangan sampai kebebasan berpendapat malah merugikan warga negara yang lain. Peraturan mendasar terkait pembatasan kebebasan berpendapat adalah Bab XVI KUHP tentang Penghinaan yaitu dalam Pasal 310 s.d 321. Pembatasan ini diperlukan karena hasil dari penghinaan dalam wujud pencemaran nama baik merupakan character assassination yang dalam hal ini dapat dianggap sebagai pelanggaran hak asasi manusia.[2]
Pasal 310 KUHP berbunyi:
“Barangsiapa sengaja menyerang kehormataan atau nama baik seseorang, dengan ,menuduh sesuatu hal, yang maksudnya terang supaya diketahui oleh umum, diancam, karena pencemaran dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau denda paling banyak tiga ratus rupiah.
Jika hal itu dilakukan dengan tulisan dan gambaran yang disiarkan, dipertunjukan atau ditempelkan di muka umum, maka bersalah, karena pencemaran tertulis, diancam pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau denda paling banyak tiga ratus rupiah.
Unsur diketahui oleh umum dan di muka umum, adalah salah satu upaya membatasi kebebasan berpendapat di muka umum.
Namun sampai saat ini, belum ada definisi hukum di Indonesia yang tepat tentang apa yang disebut sebagai pencemaran nama baik. Dalam bahasa Inggris, pencemaran nama baik bisa diartikan sebagai slander (secara lisan) atau libel (secara tertulis). Sedangkan dalam bahasa Indonesia belum ada istilah yang tepat untuk membedakan antara slander dan libel.
R. Soesilo (1996 : 25) menerangkan yang dimaksud dengan menghina yaitu menyerang kehormatan nama baik seseorang. Kehormatan yang diserang adalah tentang nama baik, bukan kehormatan dalam lapangan seksual.
R. Soesilo (1996 : 25) kemudian membagi pencemaran nama baik atau penghinaan dalam KUHP menjadi 6 macam, yaitu:
Menista secara lisan (smaad)
Menisata secara surat/tertulis (smaadschrift)
Memfitnah (laster)
Penghinaan ringan (eenvoudige belediging)
Mengadu dengan fitnah (lasterlijke aanklacht)
Fintah dengan perbuatan (lasterlijke verdachtmaking)
Namun seiring dengan perkembangan jaman, modus atau cara melakukan tindak pidana semakin berkembang, termasuk tindak pidana pencemaran nama baik atau penghinaan melalui media sosial. Oleh karenanya, pengaturan terkait kebebasan berpendapat dalam media sosial juga dibatasi, yaitu dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Pasal 27 ayat (3) jo. Pasal 45 ayat (1) UU ITE menyatakan, “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/ataau membuat dapat diaskesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik dipidana dengan penjara paling lama enam tahun dan/atau denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00.” Bahkan UU ITE tidak hanya membatasi kebebasan berpendapat dalam hal penghinaan atau pencemaraan nama baik, berita bohong atau hoax juga termasuk tindak pidana yang diatur dalam UU ITE, yaitu dalam Pasal 28 ayat (1) yang berbunyi, “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang menyebabkan kerugian konsumen dalam transaksi elektronik.” Pasal 28 ayat (1) UU ITE ini juga dapat dikatakan sebagai pembatasan dari Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers (UU Pers), di mana dalam UU Pers dijelaskan bahwa kebebasan berpendapat merupakan roh dari kebebasan pers.
Pasal Karet Kebebasan Berpendapat.
Meskipun di Indonesia terdapat banyak peraturan mengenai pembatasan kebebasan berpendapat, namun kenyataannya, peraturan tersebut malah sering memakan korban. Mahkamah Agung (MA) melalui Wakil Ketua MA Bidang Yudisial, Abdul Kadir Mappong, mengeluarkan pernyataan yang sifatnya imbauan kepada para hakim agar berhati-hati dalam menerapkan pasal pencemaran nama baik di antaranya Pasal 310 KUHP, Pasal 311 KUHP, dan Pasal 27 UU ITE. Hal tersebut disebabkan karena pasal tersebut merupakan pasal karet yang dapat ditafsirkan secara sempit maupun secara luas dan tergantung kepentingannya.[3] Oleh karenanya, MA juga telah mengeluarkan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 13 Tahun 2008 tentang Meminta Keterangan Saksi Ahli. SEMA ini ditujukan kepada seluruh Ketua Pengadilan Tinggi dan Ketua Pengadilan Negeri agar menginstruksikan kepada para hakim dalam menangani perkara yang berhubungan dengan pers untuk meminta keterangan saski ahli dari Dewan Pers. Hal tersebut disebabkan karena mereka yang paling mengetahui seluk beluk pers secara teori maupun praktik.
Masih jelas teringat di benak kita perkara yang menimpa Prita Mulyasari. Prita Mulyasari didakwa dengan pasal alternatif yaitu Pasal 27 ayat (3) jo. Pasal 45 ayat (1) UU ITE atau Pasal 310 KUHP atau Pasal 311 KUHP[4] akibat keluhannya melalui surat elektronik (e-mail) atas buruknya pelayanan Rumah Sakit Omni Internasional Tanggerang.[5] Namun demikian, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Tanggerang dalam putusan selanya menilai kasus pencemaran nama baik RS Omni Internasional dengan terdakwa Prita Mulyasari tidak dapat dilanjutkan, sehingga secara hukum Prita Mulyasari bebas. Dalam putusan selanya, majelis hakim berpendapat penggunaan Pasal 27 ayat (3) UU ITE adalah tidak tepat, karena Prita Mulyasari tidak memiliki maksud dengan sengaja menyebarkan surat elektronik kepada khalayak ramai sehingga tidak terdapat perbuatan melawan hukum dalam diri Prita Mulyasari.[6]
Lain halnya Prita Mulyasari, lain pula Buni Yani, tersangka kasus penyebaran SARA ini dijerat dengan Pasal 28 ayat (2) UU ITE yang berbunyi ”Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).” jo. Pasal 45 ayat (2) UU ITE diancam dengan pidana penjara paling lama 6 tahun dan/atau denda maksimal Rp 1.000.000.000,00.[7] Adapun alasan polisi menetapkan Buni Yani sebagai tersangka adalah karena tulisan yang diunggah bersamaan dengan video Ahok di facebook-nya. Di facebook tertulis:
“PENISTAAN TERHADAP AGAMA?
Bapak-Ibu (pemilih muslim)... Dibohongi Surat Almaidah 51 (masuk neraka) juga bapak ibu. Dibodohi.
Kelihatannya akan terjadi sesuatu yang kurang baik dengan video ini.”
Tiga paragraf inilah berdasarkan saksi ahli menyakinkan penyidik yang bersangkutan bahwa Buni Yani telah melanggar Pasal 28 ayat (2) UU ITE.[8]
Buni Yani, melalui kuasa hukumnya, Aldwin Rahardian berpendapat penggunaan Pasal 27 dan Pasal 28 UU ITE mengenai penyebaran kebencian terkait SARA sarat multitafsir. Lagipula pencemaran nama baik dan penodaan agama sudah ada rumusannya dalam KUHP, sehingga pengunaan UU ITE hanya akan menyebabkan duplikasi pasal yang tidak memberikan kepastian hukum.[9]
Pengalaman Prita Mulyasari merupakan salah satu dari sejuta pengalaman warga negara Indonesia yang juga mengalami peristiwa yang serupa. Kasus yang menimpa Buni Yani juga merupakan kasus yang sering menimpa warga negara Indonesia. Keduanya merupakan contoh aktual dari korban ngaret-nya pasal pembatasan kebebasan berpendapat.
Kesimpulan
Kebebasan berpendapat adalah hak asasi manusia sebagai anugerah dari Tuhan Yang Maha Esa, sehingga seharusnya kita dapat berpendapat sesuai dengan pikiran dan kreativitas kita di mana saja. Namun demikian, kebebasan berpendapat ini perlu dibatasi karena semakin liarnya pemikiran dan kreativitas manusia. Pembatasan tersebut hanya dapat dilakukan dengan adanya peraturan perundang-undangan yang jelas, tepat, dan lengkap agar manfaat dari pembatasan kebebasan berpendapat dapat mencapai tujuannya yaitu tidak melanggar hak asasi manusia milik orang lain.
Daftar Pustaka:
Viddi Renaldi Runtu, Niken, Asasiputih, Penghinaan via Sosial Media ketidaktahuan atau kesengajaan?, LKBH News edisi pencemaran nama baik, 2012
R. Soesilo. 1996. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia, Bandung, PT Citra Aditya Bakti.
Arniansi Utami Akbar, Implikasi Hukum Kebebasan Berpendapat di Jejaringan Sosial dalam Terwujudnya Delik Penghinaan, Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, Makasar, 2013.
Muhammad Rizadi, Anotasi Putusan Perkara Pencemaran Nama Baik melalui Internet No. Register Perkara: 1333/Pid.Sus/2013/PN.JKT.SEL (Terdakwa Benny Handoko), MaPPI FHUI, 2015.
Supriyadi, Penerapan Hukum Pidana dalam Perkara Pencemaran Nama Baik, Mimbar Hukum, Vol. 22 No. 1, Februari 2010.
Aditya Burhan Mustofa, Tindak Pidana Pencemaran Nama Baik melalui Media Internet Ditinjau dari Perspektif Hukum Pidana, Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret, Surakarta, 2010.
Eddy O.S. Hiariej, Anotasi Putusan MA No. 822/K/Pid.Sus/2010, http://www.indekshukum.org/annotation/detail/c6db57ca-76e4-16e4-9fdd-313031313131.html
Pasal Karet Pencemaran Nama Baik, Kedaulatan Rakyat, Yogyakarta, 9 Juni 2009, hlm. 12.
Nomor Register Perkara 432/TNG/05/2009 atas nama Terdakwa Prita Mulyasari
Kasus Prita, Melanggar HAM, Kedaulatan Rakyat, Yogyakarta, 4 Juni 2009, hlm 1 dan 27.
Prita Mulyasari Bebas, dalam www.liputan6.com, diakses tanggal 27 Juni 2009.
Polisi Tetapkan Buni Yani Sebagai Tersangka Kasus Penyebaran SARA, https://news.detik.com/berita/d-3353066/polisi-tetapkan-buni-yani-sebagai-tersangka-kasus-penyebaran-sara
3 Paragraf yang Jadi Alasan Penyidik Tetapkan Buni Yani Sebagai Tersangka, www.tribunnews.com/nasional/2016/11/24/3-paragraf-yang-jadi-alasan-penyidik-tetapkan-buni-yani-sebagai-tersangka
Buni Yani tersangka kasus video Ahok: tepatkah penggunaan UU ITE?, http://www.bbc.com/indonesia/indonesia-38093502
Artikel ini digunakan dalam acara pelatihan penulisan internal FPPH Palapa FH UGM.